PR TASIKMALAYA - Selama pandemi COVID-19, gerak dan aktivitas manusia sangat terbatas di mana aktivitas sebagian besar dilakukan di dalam rumah. Selama kurang lebih dua tahun lamanya, manusia sangat bergantung pada teknologi dan media sosial.
Ketergantungan tersebut akhirnya memunculkan kebiasaan scrolling yang hingga kini masih mengakar di masyarakat.
Dilansir PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari RD.com, terdapat sebuah fenomena yang muncul akibat kebiasaan scrolling berlebihan mengenai topik-topik yang bersifat negatif. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah Doomscrolling.
Doomscrolling adalah kecenderungan untuk terus menjelajahi atau menelusuri berita buruk, meskipun berita itu menyedihkan, mengecilkan hati, atau membuat depresi. Fenomena ini dapat dimaknai juga dengan kecenderungan individu menyaksikan dunia.
Baca Juga: Pembangunan IKN Harus Mempertimbangkan Aspek Kesehatan Masyarakat, Berikut Penuturan Ahli
Istilah ini belum secara resmi terdaftar dalam kamus juga bukan perilaku psikologis yang secara resmi diakui. Namun fenomena tersebut sudah muncul sejak tahun 2018 lalu, hingga berkembang semakin populer pada tahun 2020.
Saat itu istilah ini lebih dikenal dengan Doomsurfing. Sebuah studi di Universitas Florida pada tahun 2022 menemukan fakta bahwa fenomena ini adalah konsep dan perilaku baru yang dapat diukur, salah satunya dari segi dampak yang dirasakan individu akibat terlalu banyak terpapar informasi negatif.
Doomscrolling pada dasarnya bukan hanya kecenderungan konsumsi berita negatif yang dimuat di internet maupun sosial media, melainkan juga segala jenis informasi negatif yang dapat khalayak terima. Mereka tak hanya mengamati satu jenis sumber informasi melainkan berbagai jenis sumber dengan topik yang sama.