Energi Nuklir Masuk Dalam Bahasan RUU EBT, Komisi VII DPR: Butuh Banyak Masukan Perkaya Khasanah

20 Oktober 2020, 22:05 WIB
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. /*/Pixabay/

PR TASIKMALAYA – Renewable energy atau energi baru terbarukan (EBT) sangat penting untuk mulai dikembangkan, mengingat ketersediaan energi tak terbarukan yang semakin menipis persediaannya.

Untuk merealiasikan EBT tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah merancang undang-undang terkait energi terbarukan tersebut.

Dalam RUU EBT tersebut, ada wacana untuk memanfaatkan tenaga nuklir menjadi calon energi terbarukan yang akan dimanfaatkan dalam pengembangan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir).

Baca Juga: Muhadjir Effendy : Tidak Ada Acara Upacara Pembukaan dan Penutupan di Piala Dunia 2021

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto memberikan sejumlah masukan terkait RUU EBT khusunya yang berkaitan dengan energi nuklir sebgai salah satu bagian dari Energi Terbarukan.

“RUU EBT ini masih dalam tahap pembahasan, sehingga memang butuh banyak masukan yang akan memperkaya khasanah RUU ini kedepan,” kata Mulyanto dikutip Tasikmalaya.Pikiran-Rakyat.com dalam DPR RI.

“Ada beberapa hal yang saat ini memang menjadi sorotan beberapa pihak. Salah satunya Pasal 7 ayat 3 tentang Operasi dan dekomisioning PLTN oleh BUMN khusus. Sejatinya ini pasal yang masih terus berubah,” ujar Dia.

Baca Juga: Simak Caranya! BI Buka 9.000 Kantor Cabang Penukaran Uang Kemerdekaan Rp75.000

Ia menjelaskan, dalam UU ketenaganukliran Pasal 13 ayat (3) bahwa Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

Namun, dalam draft RUU EBT pembahasan mengenai BUMN khusus untuk menggantikan SKK Migas didrop dari Daftar Inventaris Masalah (DIM).

Sementara itu, untuk pengusahaan bahan nuklir diputuskan diserahkan hanya kepada BUMN (Badan Usaha Miik Negara).

Baca Juga: Indonesia Mulai Dilirik Investor, Luhut Pandjaitan: Manfaatkan Situasi ini, Tunjukan Kita Kompetitif

“Untuk kasus pemabangunan, operasi dan dekomisioning PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) ini masih harus kita dalami kalau kelak akan dibatasi pada BUMN saja. Agar antara aspek nuclear security dan pengusahaan komersial perlu dirumuskan secara optimal,” jelasnya.

Selan itu, hal lain yang menjadi sorotan dari ihak lain dalam RUU EBT ini adalah terkalit dengan UU Ketenaganukliran Pasal 13 ayat 5.

Dalam pasal itu disebutkan bahwa pembangunan reaktor nuklir sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Baca Juga: Wamen BUMN: Manfaatkan Momen Covid-19 untuk Restrukturisasi Garuda Indonesia Secara Menyeluruh

Pihaknya berharap agar kata ‘Konsultasi’ diubah menjadi kata ‘Persetujuan’. Hal itu mengingat pembangunan PLTN ini sangat strategis bagi bangsa Indonesia, sehingga masih harus dibahas lebih lanjut.

“Saya sendiri setuju dengan penggunaan kata persetujuan, karena ini lebih kuat ketimbang kata konsultasi,” lanjut Mulyanto.

Sebelumnya, dirinya mengusulkan agar Pemerintah membentuk badan pengelola EBT.

Baca Juga: Aksi Tolak Ombibus Law Patuhi Protokol Kesehatan, Para Buruh Demo Buat Formasi 'Jaga Jarak'

Dimana tugas pokok dan fungsinya menjadi jembatan antara regulator dengan pelaku (doers) sekaligus pelaksana dalam pemberian insentif dan disinsentif pada para pelaku usaha EBT.

Hal itu semata untuk merealisasikan target bauran energi terbarukan (EBT) sebesar 23 persen di tahun 2025.***

Editor: Tita Salsabila

Sumber: DPR

Tags

Terkini

Terpopuler