Mendagri Ancam Pencopotan Gubernur Soal Prokes, Refly Harun: Hanya Bisa Dilakukan Setelah Putusan MK

- 20 November 2020, 19:38 WIB
Pakar hukum tata negara Refly Harun.
Pakar hukum tata negara Refly Harun. /Tangkap layar youtube.com/Refly Harun

PR TASIKMALAYA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa seorang kepala daerah termasuk Gubernur bisa saja diberhentikan dari jabatannya.

Pernyataan tersebut disampaikan sehari setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dipanggil untuk dimintai klarifikasi oleh Polda Metro Jaya terkait pelanggaran protokol kesehatan dan kerumunan di Petamburan Jakarta Pusat pada Sabtu, 14 November 2020.

Diketahui sebelumnya, ribuan Jemaah terutama para anggota FPI menghadiri acara pernikahan anak Rizieq Shihab yang dilanjutkan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga: Pangdam Jaya Konfirmasi Perintah Copot Baliho HRS, Fadli Zon: Apa Urusannya?

Terjadinya kerumuman dan pelanggaran protokol kesehatan tersebut membuat Pemprov DKI Jakarta memberi sanksi administratif kepada FPI berupa denda Rp50 juta.

Akibat kejadian tersebut, Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Mendagri No. 6/2020 yang berisi tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covid-19.

Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tersebut merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Jokowi pada rapat terbatas kabinet di Istana Merdeka, Jakarta pada Senin, 16 November 2020.

Dalam instruksi tersebut, terdapat poin yang menjelaskan tentang kepala daerah dapat diberi sanksi hingga pemberhentian dari jabatan apabila terbukti mengabaikan penerapan protokol kesehatan.

Baca Juga: FPI Pasang Baliho HRS, Satpol PP: Jika Tak Diturunkan Sendiri oleh Pemasang, akan Diturunkan Aparat

Sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari website resmi kemendagri.go.id terdapat enam poin yang diinstruksikan Mendagri kepada seluruh kepala daerah. Adapun beberapa instruksi dalam aturan tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, kepala daerah secara konsisten menegakkan protokol kesehatan Covid-19 guna mencegah penyebaran Covid-19 di daerah.

Langkah itu berupa memakai masker, mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak, dan mencegah terjadinya kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan tersebut.

Kedua, kepala daerah diinstruksikan untuk melakukan langkah-langkah proaktif untuk mencegah penularan Covid-19 dan tidak hanya bertindak responsif atau reaktif.

Baca Juga: Dianggap Tak Hormati HAM, Vietnam Ancam Tutup Facebook

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara humanis dan penindakan termasuk pembubaran kerumunan yang dilakukan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir.

Ketiga, kepala daerah sebagai pemimpin tertinggi pemerintah di daerah masing-masing harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19, termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.

Keempat, bahwa sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, diingatkan kepada kepala daerah tentang kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah.

Berdasarkan instruksi pada diktum keempat, kepala daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi sampai dengan pemberhentian.

Menanggapi hal tersebut pakar hukum tata negara, Refly Harun menyampaikan beberapa hal soal pemberhentian kepala daerah agar tidak terjadi simpang siur dalam masyarakat.

Refly Harun mengungkapkan tentang mekanisme pemberhentian keplada daerah.

Baca Juga: Polda Metro Jaya Sibuk, Gelar Perkara Kasus Dugaan Pelanggaran Protokol Kesehatan HRS Ditunda

"Jadi kalau dia pejabat yang dipilih secara langsung termasuk juga anggota DPRD, proses pemberhentiannya tentu diatur dalam peraturan perundang-undangan, yang sedapat mungkin biasanya rigid pemberhentiannya, jadi tidak mudah dia diberhentikan sebagaimana pejabat administrasi atau pejabat politik yang tidak dipilih."

Selanjutnya, sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari kanal YouTubenya, Jumat, 20 November 2020, Refly Harun menilai Anies Baswedan bisa saja dicopot dari Gubernur DKI Jakarta, namun ada beberapa sebab yang harus dipenuhi.

"Jadi seorang Gubernur itu dia bisa diberhentikan dengan beberapa sebab, ya sebagaimana yang dicantumkan dalam instruksi menteri ini yang tidak lain sebenarnya mengutip UU nomor 3 tahun 2014," ucapnya.

Refly Harun pun membeberkan beberapa penyebabnya, namun proses pemberhentian itu ternyata hanya bisa dilakukan setelah adanya putusan dari MK.

"Misalnya, dia bisa diberhentikan kalau dia misalnya bolos enam bulan berturut-turut, tidak menjalankan tugasnya atau dia tidak melaksanakan kewajibannya, atau dia melanggar larangan, atau dia melakukan pelanggaran hukum," tuturnya.

"Kemudian setelah ada proses misalnya penggunaan hak angket, tapi satu hal yang jelas, proses pemberhentian hanya bisa dilakukan setelah adanya putusan MK, jadi ada due process of law (proses hukum)," imbuhnya.

Baca Juga: Video TNI Copot Baliho HRS Semakin Viral, Pangdam Jaya: Itu Perintah Saya

Namun jika bicara soal pendapat pribadi, Refly lebih memilih pada dinamika politik lokal ketimbang menggunakan tangan pemerintah pusat yang memang diperbolehkan menurut UU nomor 23 tahun 2014.

"Jadi DPRD sebaiknya menggunakan fungsi-fungsinya, menggunakan hak-haknya, fungsi pengawasan dan hak-haknya untuk bertanya melakukan, interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, yang kemudian bisa diproses ke MA untuk dimintakan pemberhentiannya dari sudut pandang hukum," ujarnya.

"Jadi ada proses politiknya di DPRD dan proses hukumnya di MA, setelah itu barulah bisa diberikan pemberhentian oleh pejabat yang berwenang, yaitu presiden untuk Gubernur dan Menteri Dalam Negeri untuk Bupati dan Wali Kota," sambung Refly Harun.

Editor: Tita Salsabila

Sumber: Kemendagri


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x