Faktor dan Solusi yang Dianalisis pada Laporan PBB Tentang Perdagangan Manusia untuk Penipuan Online

30 Agustus 2023, 17:07 WIB
Berikut faktor penyebab dan solusi yang dapat diidentifikasi dalam laporan PBB mengenai kasus perdagangan manusia untuk bekerja dalam penipuan online.Ilustrasi - /Freepik/bedneyimages

PR TASIKMALAYA - Sebuah laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan adanya perdagangan manusia yang memaksa korbannya untuk bekerja dalam penipuan online.

Hal itu menurut PBB, banyak terjadi di wilayah Asia Tenggara. Tentu dalam kasus ini, PBB menemukan skema terjadinya awal perkara. Yang mana dapat juga menunjukan faktor penyebab terjadinya praktik kriminalitas ini secara tidak langsung.

Oleh karenanya dalam artikel ini akan dipaparkan laporan dari PBB mengenai faktor penyebab terjadinya perdagangan manusia dalam praktik penipuan online di Asia Tenggara.

Faktor dalam laporan PBB

Baca Juga: Kriteria Penerima KUR Mandiri 2023! Apakah Kamu Masuk?

Menurut PBB, pandemi Covid-19 serta kebijakan-kebijakan terkait merupakan faktor yang membuka jalur untuk aktivitas terlarang di seluruh wilayah Asia Tenggara. Atas hal itu, kasino sebagai tempat perjudian ditutup karena alasan kesehatan.

Akhirnya membuat operator kasino memindahkan operasinya ke beberapa wilayah yang kurang teratur dan tak diperhatikan. Termasuk wilayah-wilayah perbatasan yang terkena dampak konflik dan zona ekonomi khusus.

Selain itu, operator kasino membuka jalan baru yang lebih luas untuk melakukan praktik perjudian, yakni melalui platform online yang justru semakin menguntungkan.

Dihadapkan dengan faktor di atas, para pelaku kejahatan semakin banyak melakukan praktik perdagangan manusia. Mereka memanfaatkan situasi migran yang tengah dalam kondisi rentan untuk seolah-olah diberi pekerjaan nyata. 

Baca Juga: Soal Wacana Ganjil Genap 24 jam, Ini Kata Kadishub DKI Jakarta

Selain itu, faktor pembatasan mobilitas manusia karena Covid-19 menjadikan jutaan orang lebih banyak berada di media sosial dan laman online. Akibatnya kondisi ini mendukung operasional penipuan online yang semakin banyak mempekerjakan banyak orang dengan keuntungan yang semakin besar.

Menurut laporan PBB, korban dalam perdagangan manusia untuk bekerja dalam praktik penipuan online ini adalah laki-laki. Meski beberapa yang lainnya adalah seorang perempuan dan remaja.

Terbukti, dari faktor di atas sebab dalam laporan PBB kebanyakan dari korban perdagangan manusia ini bukan warga negara asli yang mereka diami. Tak hanya itu, yang membuat ini semakin mengejutkan adalah kelompok korban justru berasal dari orang-orang yang berpendidikan tinggi.

Sebagaimana PBB melaporkan, korban bahkan tak sedikit yang merupakan sarjana atau bahkan pasca sarjana. Mereka juga ada yang merupakan pekerja profesional, menguasai komputer dan multi bahasa.

Baca Juga: PBB: Ratusan Ribu Orang di Asia Tenggara Diperdagangkan untuk Bekerja Sebagai Penipu Online

Korban datang dari seluruh wilayah Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin. Diantaranya Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Tiongkok, Hong Kong, dan Taiwan.

Adapun yang menjadi faktor kedua dalam kasus perdagangan manusia ini adalah tidak adanya standar hukum yang memadai untuk menghentikan praktik internasional ini. Sebab dalam beberapa kasus di banyak negara Asia Tenggara, kebanyakan gagal dalam memberikan respon hukum akan kecanggihan penipuan online tersebut.

Akhirnya faktor terakhir muncul, yakni kesalahpahaman dalam memberikan hukuman. Menurut PBB, korban perdagangan manusia justru diidentifikasi sebagai penjahat atau pelanggar imigrasi. 

Akibatnya mereka malah diberi hukuman dan tuntutan pidana oleh beberapa negara di Asia Tenggara. Seharusnya mereka mendapat perlindungan dan bahkan rehabilitasi yang cukup dan memadai.

Baca Juga: KUR BRI 2023 Susah Disetujui Bank, Ternyata Alasannya karena Hal Ini

Solusi dalam laporan PBB

Dalam laporan PBB tersebut, Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk menyatakan bahwa semua negara yang terkena dampak dari perdagangan manusia dan penipuan online ini harus bergerak tepat untuk mencari solusi.

Menurutnya, beberapa hal dapat menjadi solusi. Diantaranya kemauan politik, peningkatan hak asasi manusia, dan meningkatkan tata-kelola dan supremasi hukum yang tepat. Termasuk memberantas korupsi.

"Semua negara yang terkena dampak perlu mengerahkan kemauan politik untuk memperkuat hak asasi manusia dan meningkatkan tata kelola dan supremasi hukum, termasuk melalui upaya serius dan berkelanjutan untuk memberantas korupsi. Hal ini harus menjadu bagian dari respon terhadap penipuan ini juga respon peradilan pidana yang kuat," kata Turk menjelaskan sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari United Nations Human Rights, Rabu, 30 Agustus 2023.***

Editor: Aghnia Nurfitriani

Tags

Terkini

Terpopuler