Agama Digunakan untuk Provokasi dan Politik Kekuasaan, PBNU: Bentuk Politik Paling Buruk

20 November 2020, 14:30 WIB
Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) TGB (Tuan Guru Bajang) Muhammad Zainul Majdi mengingatkan terkait dampak politisasi agama. /ANTARA/HO/ANTARA

PR TASIKMALAYA – Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW), Muhammad Zainul Majdi atau yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Bajang (TGB) mengingatkan bahwa politisasi agama untuk dapatkan kekuasaan politik, akan berdampak buruk dan berbahaya.

“Menurut saya, politisasi agama bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentiment keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati,” ujar TGB.

TGB menambahkan, politisasi agama yang diwujudkan dengan adanya pemanfaatan agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik, atau agama sebagai alat untuk dapatkan hasil politik.

Baca Juga: BPBD Sleman Siapkan Belasan Barak Pengungsian, Hal itu Disediakan Setelah Ada Instruksi

Namun, jika politisasi agama yang mana nilai-nilai agama dijadikan sebagai prinsip politik maka tentu saja itu merupakan suatu hal yang baik sebagaimana yang dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesia.

“Maka politik menjadi hidup dan bagus karena ada nilai agama,” ujarnya seperti yang dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari ANTARA pada Jumat 20 November 2020.

TGB berpendapat, belakangan banyak kelompok tertentu yang melakukan politisasi politik yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.

“Kita perlu literasi, perlu penegasan bahwa politik bagian dari muamalah, politik bukan akidah,” jelasnya.

Baca Juga: Bermain Video Game Baik Untuk Kesehatan Mental? ini Kata Peneliti

Selain TGB Imam Addaruqutni selaku Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI) menilai, apa yang dilakukan Rizieq Shihab merupakan bagian dari politisasi agama.

“Kalau Rizieq mungkin mengatakan bukan politisasi agama. Tapi kalau kita mengatakan iya,” tegasnya.

Pendapat lainnya datang dari Cholil Nafis selaku intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) mengatakan, apa yang terjadi lebih kepada kegagalan orang yang ingin membawa isu liberal.

“Liberal ini melahirkan radikalisme, yang kita hadapi ini buah dari proses liberalisasi. Jadi, jangan sampai kita menepi menjadi radikalisme. Bagaimana memasyarakatkan moderasi Islam agar orang tidak menepi ke kanan dan ke kiri,” pungkasnya.

Baca Juga: Penuhi Panggilan Penyidik Polri, Ridwan Kamil: Nanti Hasilnya Saya Sampaikan Setelah Klarifikasi

Oleh karena itu, negara harus terlibat untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya menindak tegas kelompok yang memanfaatkan agama untuk kepentingan provokasi.

“Negara tidak boleh kalah,” ujar Hery Sucipto selaku Direktur Moya Institute.

Lebih lanjut, Hery mengatakan bahwa munculnya konservatisme serta militansi merupakan efek dari pembiaran adanya kelompok intoleran yang diselimuti oleh dakwah provokatif.

Padahal idealnya, dakwah seharusnya santun, tidak boleh mencaci, serta melukai pihak lain.***

 

Editor: Tita Salsabila

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler