Turut Soroti Soal Putusan MK Tentang Batas Usia Cawapres, Pengamat Hukum: Jauh dari Rasa Keadilan Masyarakat

17 Oktober 2023, 12:10 WIB
Pengamat hukum tata negara Universitas Jember Dr Adam Muhshi turut menyoroti putusan MK soal batas usia Capres dan Cawapres. /Antara/Aditya Pradana Putra

PR TASIKMALAYA - Pengamat hukum tata negara Universitas Jember (Unej) Dr Adam Muhshi menyebut jika putusan hakim Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) sudah dinilai melampaui kewenangannya.

Perlu diketahui, Mahkamah Konstitusi menyatakan jika batas usia minimal Capres dan Cawapres adalah 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah.

Atas dasar hal tersebut, Adam mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi sudah mulai dianggap melewati batas-batas yang sudah ditetapkan sebelumnya.

"Dengan putusan itu, MK (Mahkamah Konstitusi) memposisikan diri sebagai positif legislator, sehingga sudah 'melompat pagar' dari kewenangannya karena yang membentuk aturan itu DPR dan Presiden," katanya pada 17 Oktober 2023, sebagaimana dilansir PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari Antara. 

Baca Juga: Gibran Rakabuming Berpeluang jadi Cawapres Prabowo di Pilpres 2024, Begini Kata Pengamat

Adam juga menyebut dalam konteks secara legal formal bahwa keputusan hakim MK itu dinyatakan sah dan mengikat sejak dibacakan.

Hanya saja, bisa menjadi bermasalah secara substansi karena dinilai cacat hukum. Hal ini ada kaitan dengan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia Capres dan Cawapres.

Di mana undang-undang itu diubah menjadi 40 tahun atau pernah menjadi kepada daerah baik dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Dari semangatnya anak muda boleh menjadi presiden asalkan sudah pernah menjadi kepala daerah, namun saya tidak setuju karena secara substansi sangat tendensius ketika diterapkan pada Pemilu 2024," ucap dia.

Baca Juga: KUR BRI: Persyaratan Mudah Komitmen Bantu Ekonomi Kerakyatan

Menurutnya, nilai putusan tersebut sudah cacat hukum karena secara substansi sudah keluar dari nilai utama Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Terlebih keputusan itu dinilai sudah jauh dari rasa keadilan masyarakat dan membangkitkan dinasti politik.

"Putusan MK sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat karena saat ini Indonesia sebagai negara Republik, akan tetapi putusan MK tersebut berpotensi mundur ke belakang, kembali ke politik dinasti yang merupakan karakter negara dengan sistem monarki dengan hukum positif sebagai dalil pembenar," katanya.

Ia juga melihat Mahkamah Konstitusi sudah mengarah ke politik, sehingga hal tersebut akan berpengaruh ke kepercayaan masyarakat terhadap lembaga itu.

"Sebagai negative legislator, MK tidak boleh membatalkan atau mengubah ketentuan UU yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun putusan MK justru menjadikan lembaga tersebut sebagai positif legislator," ujarnya.***

Editor: Aghnia Nurfitriani

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler