Lebih dari Virus Corona, Perang Dingin AS-Tiongkok Disebut jadi Ancaman Terbesar Dunia

- 22 Juni 2020, 12:13 WIB
Bendera Amerika Serikat dan Tiongkok.*
Bendera Amerika Serikat dan Tiongkok.* /MGN

PR TASIKMALAYA - Hubungan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok semakin memburuk beberapa waktu belakangan.

Ekonom berpengaruh Jeffrey Sachs mengungkapkan bahwa perang dingin yang semakin dalam antara AS dan Tiongkok akan menjadi ancaman global yang lebih besar bagi dunia daripada virus corona.

Sachs mengatakan bahwa saat ini ekonomi dunia menuju periode gangguan besar tanpa kepemimpinan setelah pandemi.

"Kesenjangan antara dua kekuatan super akan memperburuk ini," ujarnya, dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari BBC.

Baca Juga: Wujudkan Aksi Militer, Senjata Korea Utara dalam Posisi Terbuka ke Arah Korea Selatan

Sachs yang merupakan Profesor Universitas Columbia ini menyalahkan pemerintah AS atas permusuhan antara kedua negara.

"AS adalah kekuatan untuk divisi, bukan untuk kerja sama. Ini adalah kekuatan yang mencoba menciptakan perang dingin baru dengan Tiongkok. Jika ini berlaku - jika pendekatan semacam itu digunakan, maka kita tidak akan kembali normal, dan akan memicu kontroversi yang lebih besar dan bahaya yang lebih besar pada kenyataannya," ujarnya.

Seperti yang diketahui, ketegangan antara AS dan Tiongkok terus meningkat dalam beberapa bidang, bukan hanya perdagangan semata.

Baca Juga: Hendak Selfie Bareng Rayakan Ultah, Seorang Ayah dan Dua Anaknya Malah Terperosok ke dalam Sumur

Pekan lalu, Presiden Trump menandatangani undang-undang yang mengesahkan sanksi AS terhadap pejabat Tiongkok yang bertanggung jawab atas penindasan umat Islam di provinsi Xinjiang.

Presiden Trump uga mengatakan dia yakin Tiongkok mungkin telah mendorong penyebaran virus internasional sebagai cara untuk mengacaukan perekonomian global.

Pemerintahan Trump juga menargetkan perusahaan-perusahaan Tiongkok, khususnya raksasa telekomunikasi Tiongkok, Huawei, yang menurut Washington digunakan untuk membantu Beijing memata-matai para pelanggannya. Tiongkok menyangkal ini, seperti halnya Huawei.

Baca Juga: Pesepeda di Tasikmalaya Meninggal Dunia di Tepi Jalan, Diduga Terlalu Lelah Berolahraga

Menurut sebuah buku baru oleh mantan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton, sikap keras Presiden Trump terhadap Tiongkokdan Huawei mungkin merupakan bagian dari taktik politik untuk menjadikan dirinya terpilih kembali.

Profesor Sachs setuju bahwa menargetkan Huawei tidak pernah sekadar hanya masalah keamanan.

"AS kehilangan langkahnya pada 5G, yang merupakan bagian penting dari ekonomi digital baru. Dan Huawei mengambil bagian lebih besar dan lebih besar dari pasar global. AS mengarang dalam pendapat saya, bahwa Huawei adalah ancaman global. Itu sebabnya AS mencoba memutuskan hubungan dengan Huawei," katanya.

Baca Juga: Warga di Green Lake City Digegerkan Suara Tembakan Kawanan Perampok, Pelaku Kabur Gunakan Fortuner

Sementara itu, pendapat serupa diungkapkan oleh Shi Yinhong, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renmin Tiongkok dan penasihat Dewan Negara Tiongkok. Dia menilai hubungan Tiongkok dan AS semakin memburuk.

"Amerika Serikat dan Tiongkok sebenarnya berada di era Perang Dingin yang baru," katanya dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari South China Morning Post.

Dia menambahkan, berbeda dari Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, Perang Dingin baru antara AS dan Tiongkok memiliki kompetisi penuh dan perputaran cepat. Hubungan AS-Tiongkok tidak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu, bahkan tidak sama dengan beberapa bulan yang lalu.

Baca Juga: Lanjutan Kasus Penemuan Dua Mayat Menggantung di Pohon, Hasil Penyelidikan Polisi 'Tetap Bunuh Diri'

Saat retorika tentang "Perang Dingin baru" adalah pokok pembicaraan yang umum di Washington, namun kata-kata itu jarang digunakan di depan umum oleh para penasihat dan pakar politik luar negeri Tiongkok. Bagaimanapun, Perang Dingin yang asli berarti akhir dari Uni Soviet dan menghasilkan Amerika Serikat sebagai pemenangnya.

Sementara itu Reuters melaporkan, dokumen pemerintah Tiongkok yang bocor mengatakan sentimen global anti-Tiongkok berada pada titik terburuk sejak 1989, ketika Beijing secara brutal menindak aksi protes di Lapangan Tiananmen.

Yu Wanli, wakil direktur di lembaga think tank Lian An Academy di Beijing, setuju bahwa hubungan AS-Tiongkok berada pada titik terendah sejak penumpasan Tiananmen.

Baca Juga: Teleskop Ruang Angkasa Berhasil Pindai Peta Seluruh Langit Lewat Sinar-X, Peneliti: itu Menakjubkan

"Saya selalu optimis tentang hubungan AS-Tiongkok sampai saat ini. Di masa lalu, Anda selalu dapat menemukan suara pro-Tiongkok pada spektrum politik AS, tetapi tidak ada suara seperti itu dalam pemerintahan Trump," kata Yu.

Amerika bukan satu-satunya negara yang terlibat konflik dengan Tiongkok.

Minggu ini, ketegangan membara di perbatasan India-Tiongkok, dengan sedikitnya 20 tentara India tewas dalam aksi kekerasan terburuk yang dialami kedua pihak dalam hampir lima puluh tahun.

Baca Juga: Tiongkok Disebut sebagai 'Aktor Jahat', Donald Trump Berencana Membantu India Redakan Bentrokan

Sementara itu, Tiongkok telah secara aktif mendanai proyek-proyek ekonomi di Pakistan, Myanmar, Sri Lanka dan Nepal - tetangga terdekat India - yang telah menimbulkan kekhawatiran di Delhi bahwa Beijing berusaha untuk memotong pengaruhnya di kawasan itu.

Sachs mengakui, kebangkitan Tiongkok menjadi perhatian bagi negara-negara tetangganya di Asia.

"Pilihan besar terus terang ada di tangan Tiongkok. Jika Tiongkok kooperatif, jika terlibat dalam diplomasi, kerja sama regional dan multilateralisme, dengan kata lain - kekuatan lunak - karena itu adalah negara yang sangat kuat .... maka saya berpikir bahwa Asia memiliki masa depan yang cerah," ujarnya.***

Editor: Gugum Rachmat Gumilar

Sumber: REUTERS BBC South China Morning Post


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x