Aksi Demonstrasi di AS Buka Mata Dunia, Pengamat: Tak Ada Negara Miliki Demokrasi yang Sempurna

- 8 Juni 2020, 06:46 WIB
AKSI demonstrasi black lives matter di Amerika Serikat.*
AKSI demonstrasi black lives matter di Amerika Serikat.* /Deutsche Welle/


PR TASIKMALAYA - Aksi demonstrasi yang berkepanjangan di Amerika Serikat (AS) membuka mata dunia bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki sistem demokrasi yang sempurna.

Hal tersebut diungkapkan oleh Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah kepada Antara di Bekasi, Minggu, saat menanggapi aksi demonstrasi anti rasisme di Amerika Serikat.

Kematian warga Afrika-Amerika George Floyd menyulut aksi protes anti rasisme yang berujung kericuhan tak hanya di beberapa negara bagian di Amerika Serikat.

Baca Juga: Langgar Aturan Jarak Sosial, Ratusan Orang Rayakan Berakhirnya Karantina dengan Melompat ke Danau

Tak hanya Amerika Serikat, kematian George Floyd juga memantik aksi unjuk rasa di beberapa negara seperti di Inggris, Kanada, Australia, hingga di Selandia Baru.

"Karena demokrasi itu sendiri adalah sebuah proses yang harus dibangun terus menerus dan lintas generasi lewat program pembangunan yang terstruktur dan komprehensif," ujar Teuku Rezasyah, dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari Antara.

Ia kemudian menambahkan bahwa demokrasi mengambil hikmah dari praktik-praktik terbaik yang terjadi di dalam dan luar negeri, dari masa kini dan masa lalu.

Baca Juga: Usai Pulih dari Operasi, Pemain Bulutangkis Jepang Kento Momota Siap Angkat Raket Kembali

"Amerika Serikat yang sejak tahun 1945 menyebut dirinya sebagai adi kuasa dan model terbaik dari demokrasi, sehingga seringkali memaksakannya ke negara lain, saat ini menghadapi dilema," ujarnya.

Sebelumnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj mengatakan, demokrasi Amerika tengah sekarat karena menghasilkan pemimpin konservatif yang menyeret demokrasi ke titik anti-klimaks dengan retorika-retorika politik liberal yang selama ini dimusuhi.

"Perubahan haluan yang drastis dari presiden yang diusung Partai Demokrat (Obama) ke presiden yang diusung Partai Republik (Trump) menunjukkan fondasi demokrasi Amerika tidak sekokoh seperti yang didengung-dengungkan," ujar Said Aqil Siroj.

Baca Juga: Jadi Misteri Batu Berbentuk Kodok, Sebuah Desa di Tiongkok Disebut Bebas dari Nyamuk

Diskriminasi rasial dan kesenjangan ekonomi telah menjadi cacat bawaan seperti telah disinggung oleh Gunnar Myrdal sejak tahun 1944 dalam bukunya An American Dilemma.

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika ke-45 telah menguak boroknya demokrasi Amerika yang selama ini tampil bak 'polisi' demokrasi dunia.

Kampanye 'hitam' Trump di musim kampanye Pilpres AS yang rasis, menunjukkan sentimen negatif terhadap imigran kulit warna dan kaum Muslim, telah menjadi bom waktu yang meledak dalam kerusuhan rasial sekarang.

"Demokrasi Amerika akan terus dihantui oleh pertarungan abadi antara ide persamaan hak dan prasangka rasial. Keyakinan Myrdal bahwa pada akhirnya demokrasi akan menang atas rasisme tidak terbukti sampai sekarang. Diskriminasi atas warga Afrika-Amerika telah memicu kerusuhan rasial yang terus berulang hingga 11 kali dalam setengah abad sejak 1965," ujarnya.***

 

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: Antara News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah