Berniat Obati Covid-19, Pria Arizona Tewas Usai Konsumsi Chloroquine Phosphate

24 Maret 2020, 19:15 WIB
CHLOROQUINE yang dianggap sebagai obat potensial untuk virus corona //via Pikiran Rakyat Depok

PIKIRAN RAKYAT - Seorang pria di Arizona Amerika Serikat tewas, serta istrinya dalam kondisi kritis setelah mengonsumsi chloroquine phosphate dengan tujuan mengobati Covid-19, demikian dilaporkan Reuters.

Produk pembersih akuarium yang mirip dengan obat-obatan ini sebelumnya disebut-sebut oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai obat yang potensial untuk mengobati infeksi virus corona.

Kepada media setempat, istri pria ini mengatakan bahwa dirinya menonton konferensi pers di mana Presiden AS Donald Trump mengungkapkan manfaat dari chloroquine untuk mengobati virus yang mewabah di negaranya.

Baca Juga: Kolaborasi dengan POS Indonesia, Jabar Distribusikan Sejuta Masker

Saat itu juga, dirinya teringat nama itu dalam produk perawatan untuk ikan koinya.

"Saya melihatnya di rak belakang dan berpikir, 'Hei bukankah itu sesuatu yang mereka bicarakan di TV?'" kata wanita yang tak disebut namanya itu seperti dikutip dari New York Post pada Senin, 23 Maret 2020.

Merasa takut virus corona yang diderita keduanya tak kunjung membaik, keduanya mencampurkan produk ikan tersebut dengan air lalu meminumnya. 20 menit setelahnya, mereka merasakan pusing dan panas.

Baca Juga: Pejabat Pemprov Jabar PDP Virus Corona Usai Kunjungan ke Garut, Rudy Gunawan Jalani Tes Covid-19

"Saya mulai muntah," kata wanita itu. Sementara, sang suami mulai mengalami masalah pernapasan.

Keduanya langsung dilarikan ke rumah sakit. Namun nahas, sang suami meninggal tak lama kemudian.

Chloroquine fosfat memiliki bahan aktif yang serupa dengan obat malaria yang oleh Presiden Trump disebut-sebut efektif untuk mengatasi Covid-19, penyakit yang berpotensi mengancam jiwa yang disebabkan oleh virus corona.

Baca Juga: Corona Masuki Myanmar, Dokter Cemas Pemerintah Tak Bisa Tangani Wabah

Terpantau dari akun Twitter, memang Trump mencuit tentang kombinasi hydroxychloroquine dan azithromycin pada Sabtu kemarin.

Ia mengatakan kombinasi itu memiliki peluang nyata untuk menjadi salah satu pengubah kondisi terbesar dalam sejarah kedokteran. Namun, ia tak menyebut virus corona dalam cuitannya tersebut.

 Sementara itu, dikonfirmasi secara terpisah, ahli penyakit menular utama di Amerika Serikat, Anthony Fauci, mengabaikan klaim tersebut. Fauci mengatakan terapi itu harus diuji untuk memastikan keamanan dan kemanjurannya.

Baca Juga: Covid-19 Kian Mewabah, Pemkab Purwakarta Tetap Gelar Musrenbang

Hal itu didukung pula oleh Banner Health dalam sebuah pernyataannya yang dirilis Senin.

"Chloroquine, obat malaria, tidak boleh dicerna untuk mengobati atau mencegah virus ini," kata Banner Health.

Virus corona, yang menyebabkan penyakit pernapasan Covid-19 yang sangat menular, muncul pada Desember di Wuhan, Tiongkok dan telah menyebar ke seluruh dunia.

Baca Juga: Disebut Lalai, Mantan Menkes serta PM Prancis Dituntut 600 Dokter

Saat ini belum ada vaksin atau perawatan yang disetujui untuk mengobati penyakit ini.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para peneliti dari beberapa negara termasuk Italia dan Iran tengah mempelajari metode perawatan yang ada dan terus melakukan percobaan demi percobaan.

Sementara itu, untuk saat ini, sebagian besar pasien hanya dapat menerima perawatan pendukung.

Baca Juga: Penjelasan Kabar Heboh Warga Karangnunggal Meninggal Karena Covid-19

"Mengingat ketidakpastian seputar Covid-19, kami memahami bahwa orang-orang berusaha menemukan cara baru untuk mencegah atau mengobati virus ini, tetapi caranya bukan dengan mengobati sendiri," kata Dr. Daniel Brooks, Direktur Pusat Informasi Obat dan Racun Banner.

Daniel Brooks meminta para komunitas medis untuk tidak meresepkan obat chloroquine kepada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit.

"Hal terakhir yang kami inginkan saat ini adalah unit gawat darurat kami dibanjiri dengan pasien yang percaya mereka menemukan solusi yang kabur dan berisiko yang berpotensi membahayakan kesehatan mereka."

Editor: Rahmi Nurlatifah

Sumber: REUTERS New York Times

Tags

Terkini

Terpopuler