DBH Sawit dan UU Produk Halal Jadi Bahasan Utama DPD saat Temui Jokowi

- 7 Oktober 2020, 13:54 WIB
PERKEBUNAN kelapa sawit di Siak, Riau.*
PERKEBUNAN kelapa sawit di Siak, Riau.* /ANTARA/

PR TASIKMALAYA – Sawit merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang banyak menyumbangkan devisa bagi negara.

Selain di ekspor, sawit juga diproduksi di dalam negeri sebagai bahan baku dalam pembuatan minyak goreng.

Banyak pendapatan yang dihasilkan dari perkebunan sawit ini. Namun dalam keterangan 21 gubernur penghasil sawit di Indonesia, mereka tidak mendapatkan DBH (Dana Bagi Hasil).

Baca Juga: Penasihat Senior Gedung Putih Stephen Miller Positif Covid-19

Hal ini pun dibahas oleh Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam rapatnya bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada Selasa, 6 Oktober 2020.

Dalam rapatnya, Ketua DPD membahas aspirasi para gubernur dari 21 provinsi penghasil sawit terbesar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua tentang Dana Bagi Hasil (DBH) sawit.

Dalam rapat tersebut, LaNyalla Mattalitti hadir bersama Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono dan Sultan Baktiar Najamudin. Ia menilai, provinsi penghasil sawit merasakan ketidakadilan berkatan ketiadaan DBH sawit.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinilai Berbahaya, FH UGM: Bertentangan dengan Arus Global

Padahal, provinsi tersebut terdampak langsung dari aktivitas dan kegiatan perkebunan sawit, mulai dari kerusaan jalan dearah dan jalan provinsi, dampak kebakaran hutan dan lahan erosi, dan pencemaran limbah.

“Sebenarnya ada dua opsi yang bisa ditempuh. Pertama, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang mengelola dana triliunan rupiah per tahun dapat memberi alokasi kepada daerah,” ucap LaNyalla.

Selain itu, ia juga memberikan opsi lainnya kepada Presiden yaitu dengan merevisi UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, denngan memasukkan DBH sawit, selain DBH Migas dan Pajak yang sudah ada.

Baca Juga: Menko UKM Minta KPK Kawal Penyaluran Bantuan Presiden

Sementara itu, terkait pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang berlaku wajib sejak tahun 2019 lalu.

DPD RI juga menyampaikan temuannya bahwa hingga hari ini pelaksanaan UU tersebut masih terhambat dan bleum berjalan efektif.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa hambatan itu dikarenakan dua hal pokok.

Pertama, hingga saat ini Kementerian Keuangan RI belum mengeluarkan besaran tarif sertifikasi.

Baca Juga: Pulau Jawa Diprediksi Diguyur Hujan hingga Februari 2021

Kedua, adanya Peraturan Menteri Agam RI Nomor 26 Tahu  2019 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 yang bertentangan dan melampaui perintah UU tersebut.

“Kami pimpinan DPD sebelumya sudah melakukan rapat konsultasi dengan Wakil Presiden, dan beliau merekomendasikan kepada kami untuk menjembatani semua pihak agar proses sertifikasi halal bisa berjalan sesuai UU yang sudah bersifat mandatori sejak tahun 2019 itu,” ungkap LaNyalla.

Dalam pertemuan konsultasi yang berlangsung satu jam itu, Presiden Jokowi mendukung semua materi konsultasi yang disampaikan pimpinan DPD RI sebagai bagain dari fungsi pengawasan dan representasi daerah.

Baca Juga: Kejaksaan Kembalikan Berkas Perkara Catherine Wilson, Kenapa?

Selain dua materi tersebut, dalam rapat konsultasi ini pimpinan DPD RI juga menyampaikan aspirasi lannya.

Diantaranya hambatan pembentukan prodi nonagama oleh 10 UIN di Indonesia, usulan gelar pahlawan untuk pendiri ormas Islam Al Jam’iyatul Wasliyah, ambulans laut untuk daerah kepulauan, konversi pembangkit bahan bakar minyak ke batu bara serta masih adanya kebijakan daerah yang masih diskriminatif dan merugikan pelaku usaha.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah