Berikan 8 Catatan Kritis RUU Cipta Kerja, Fraksi PAN: itu Perlu Diperdalam Lebih Lanjut

- 5 Oktober 2020, 22:00 WIB
Poster penolakan bertuliskan RUU CILAKA.
Poster penolakan bertuliskan RUU CILAKA. //RRI

PR TASIKMALAYA – Saleh Partaonan Daulay selaku pelaksana Harian Ketua Fraksi PAN DPR RI mengatakan, terdapat 8 catatan kritis terkait RUU Cipta Kerja.

Delapan catatan tersebut didapat dari himpunan dari masyarakat, serta akumulasi aspirasi yang disampaikan kepada Fraksi PAN.

“Namun harus disadari, Fraksi PAN tentu tidak bisa sendiri dalam menyuarakan dan memperjuangkan. Karena itu, tidak heran jika tidak semua catatan kritis itu bisa diakomodir dan dimasukkan dalam UU,” ujar Saleh.

Baca Juga: Tak Jarang Jatuhkan Korban Jiwa, Komnas HAM Desak Aparat Ungkap Kasus Politik Kekerasan

Catatan pertama, pembahasan RUU Cipta Kerja terlalu tergesa-gesa dibuat dan minim partisipasi publik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika RUU kurang optimal.

“karena itu, penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas,” jelasnya.

Catatan kedua, dari sektor kehutanan, aturan yang ada dalam UU Omnibus law masih mengesampingkan partisipasi masyarakat, terutama dengan adanya penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, masyarakat adat dan perkebunan sawit.

Selain itu, adanya tumpang tindih antara areal hutan dengan izin konsesi pertambangan.

Baca Juga: Angka Kasus Covid-19 di Bandung Tinggi, Oded M. Danial: Kami Akan Terapkan Mini Lockdown

Catatan ketiga dari sektor pertanian. Pemerintah didorong untuk tidak terlalu membuka celah impor pangan dari luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah perlu melindungi hasil produksi pangan lokal.

Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan daya saing petani lokal.

“Fakta bahwa tanpa membuka keran impor saja, daya saing komoditas pertanian kita sulit dikendalikan. Fraksi PAN menilai bahwa pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus, belum menjadi agenda dalam RUU Cipa Kerja,” ujarnya.

Catatan keempat, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 tentang Jaminan Produk Halal, khususnya Pasal 4A bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Baca Juga: PT Biofarma Kebut Produksi Reagen untuk Pemeriksaan Covid-19

Hal tersebut didasarkan kepada pernyataan pelaku UMK. Meski dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH, memiliki kecenderungan untuk melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK.

Catatan kelima terkait ketenagakerjaan. Fraksi PAN, belum melihat adanya kejelasan lebih khusus terkait aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing, dengan tujuan tidak menimbulkan multi interpretasi.

Oleh karena itu, sebaiknya hal tersebut dicantumkan secara spesifik dalam UU tersebut.

Catatan keenam terkait penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan.

Baca Juga: Ingin Cicipi Makanan dengan Citarasa Khas Korea? Kamu Bisa Datangi 4 Kedai di Tasikmalaya ini!

Dalam UU Ketenagakerjaan, memuat pengaturan agar perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Setidaknya hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kemungkinan semua jenis pekerjaan agar mendapatkan dorongan tanpa adanya batasan tertentu.

Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, akan banyak pekerja kontrak yang tidak terlindungi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan.

“Fraksi PAN menilai, bahwa perusahaan-perusahaan nantinya bisa secara membabi-buta menggunakan pekerja kontrak. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, bahwa ‘Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan',” ujarnya.

Baca Juga: Belum Selesai dengan KAMI, Ucapan Moeldoko Ciptakan Kontroversi hingga Buat Dokter Indonesia Geram

Catatan ketujuh mengenai Pasal 88B. Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu/atau hasil.

Jika hal tersebut diterapkan, berpotensi untuk menimbulkan persoalan baru dan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh.

Bahkan, penghasilan yang diterima bisa berada di bawah upah minimum yang seharusnya didapatkan oleh pekerja/buruh.

Catatan kedelapan terkait dengan pesangon. Jumlah pemberian pesangon adalah tetap sebanyak 32 kali gaji. Bedanya, pesangon tersebut tidak hanya dibayar oleh pemberi kerja namun juga dibayar juga oleh pemerintah.

Baca Juga: Dahlan Lebih Semangat Bertani Berkat Jalan Baru TMMD Reguler Brebes

Jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sementara itu, pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

“Hal ini jelas meringankan beban yang harus dibayar pengusaha atau pemberi kerja, serta tidak mengurangi hak buruh dalam menerima pesangon. Nama Fraksi PAN menilai bahwa skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP direncanakan akan menyerap Anggaran penerimaan Belanja Negara (APBN),” ujarnya.

Fraksi PAN berharap, lahirnya UU Cipta Tenaga Kerja dapat membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.***

Editor: Rahmi Nurlatifah

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah