Begini Tanggapan Kontra Para Elite Politik hingga Serikat Pekerja Terkait Kenaikan Iuran BPJS

- 15 Mei 2020, 20:35 WIB
Logo BPJS Kesehatan
Logo BPJS Kesehatan //BPJS Kesehatan

PIKIRAN RAKYAT – Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan banyak menyita perhatian publik, pasalnya telah ditetapkan sebelumnya bahwa iuran BPJS tidak jadi di naikan.

Di tengah pandemi Covid-19 ini, Presiden merencanakan akan menaikan iuaran BPJS Juli mendatang. 

Bahkan, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, pemerintah masih dalam koridor menjalankan putusan Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Namun keputusan tersebut menuai pro dan kontra dari beberapa pihak.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Lambang Garuda akan Hilang akibat Tak Ada dalam Logo Bansos Presiden?

Dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari situs Antara, ada sejumlah pernyataan tegas dari beberapa pihak yang menyatakan kurang setuju atas kenaikan iuran BPJS Juli mendatang.

Pernyataan pertama datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diwakili oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui keterangannya di Jakarta, Jumat 15 Mei 2020.

KPK mengharapkan pemerintah dapat meninjau kembali keputusan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Baca Juga: Beda Aturan dengan Jabodetabek, Pemkot Bandung Tetap Larang Mudik Lokal

“Dalam kajian tata kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang KPK lakukan pada 2019, akar masalah yang kami temukan adalah tata kelola yang cenderung inefisien dan tidak tepat yang mengakibatkan defisit BPJS Kesehatan,” ujarny Nurul Ghuffron.

Karena itu, lanjutnya, KPK berpendapat bahwa solusi menaikkan iuran BPJS sebelum ada perbaikan sebagaimana rekomendasi KPK, tidak menjawab permasalahan mendasar dalam pengelolaan dana jaminan sosial kesehatan.

Bahkan, ia mengatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan dipastikan akan memupus tercapainya tujuan jaminan sosial sebagaimana UU No. 40 Tahun 2004.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Refly Harun Sebut Jokowi Curang dalam Pilpres 2019? Simak Faktanya

Kemudian tanggapan yang kedua datang dari Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay.

Ia menyesalkan langkah Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

“Di dalam perpres itu, Pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah terkesan tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Perpres 75/2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan,” kata Saleh dalam keterangannya, Rabu 13 Mei 2020.

Baca Juga: Seorang Pasien Terduga Positif Covid-19 di Kota Tasikmalaya Mengamuk saat Dijemput Petugas

Padahal, menurut Saleh, warga masyarakat banyak yang berharap agar putusan MA itu dapat dilaksanakan dan iuran tidak jadi dinaikkan.

Ia mengatakan, sejak awal dirinya menduga Pemerintah akan berselancar sehingga putusan MA akan dilawan dengan menerbitkan aturan baru.

“Mengeluarkan perpres baru tentu jauh lebih mudah dibandingkan melaksanakan putusan MA, artinya Pemerintah mematuhi putusan MA itu hanya 3 bulan, yaitu April, Mei, dan Juni.

Baca Juga: Kembali ke Sekolah akan Dimulai 13 Juli 2020, Pemprov DKI Jakarta Siapkan Tiga Skema

"Setelah itu, iuran dinaikkan lagi dan uniknya lagi, iuran untuk kelas III baru akan dinaikkan tahun 2021,” tambah Saleh.

Lalu, masukan untuk mengkaji kembali kenaikan BPJS datang dari Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Ia mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas I dan kelas II mandiri pada Juli 2020.

Hal itu tercantum dalam Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Baca Juga: Cek Fakta: Sitkom Bajaj Bajuri Diklaim Ramal Kedatangan Virus Corona di Indonesia, Ini Faktanya

"Meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana tersebut, mengingat putusan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan," kata Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam keterangannya, Kamis 14 Mei 2020.

Kemudian keempat datang dari politisi perempuan, yakni Wakil Ketua Komite III DPD, Evi Apita Maya, yang menilai pemerintah telah mengabaikan Mahkamah Agung (MA) dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020.

Baca Juga: Rolls-Royce Raffi Ahmad Jadi Tempat Jemur Kasur dan Rengginang Saat Dipinjam Komedian Denny Cagur

Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu membahas tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

"Pemerintah seharusnya mengedepankan pertimbangan hukum Putusan MA Nomor 7P/HUM/2020 yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan," kata Evi melalui pernyataan tertulis, Kamis 14 Mei 2020.

Dan yang terakhir, datang dari kalangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang meminta kenaikan iuran BPJS Kesehatan ditunda hingga masa pandemi Covid-19 berlalu.

Baca Juga: Jual Surat Sehat Bebas Covid-19 Seharga Rp 70 Ribu, Polisi Berhasil Ciduk Pelaku di Bali

"Setelah COVID-19 selesai, tetapi dilihat dulu upah kami naik juga atau tidak," kata Ketua SPSI Surakarta Wahyu Rahadi di Solo, Kamis 14 Mei 2020.

Ia mengatakan, kebijakan mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut tidak mudah diikuti oleh para buruh karena mereka tidak hanya membayar iuran untuk dirinya sendiri tetapi juga seluruh anggota keluarga.

"Dengan demikian, itu akan jadi beban kalau iurannya naik," katanya.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x