Mengenal Sejarah Kampung Naga di Tasikmalaya, Terapkan Konsep Hidup Sunda Buhun

26 Maret 2021, 12:11 WIB
Mengenal sejarah Kampung Naga yang terletak di Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, yang masih menjaga tradisi nenek moyang.* /Instagram @kampungnaga/

PR TASIKMALAYA - Kampung Naga adalah satu dari sekian kampung adat Sunda yang masih setia menjaga tradisi nenek moyang.

Kampung Naga diisi oleh masyarakatnya yang hingga kini tetap konsisten dengan pola hidup Sunda Buhun (tradisional).

Kampung Naga secara administrasi terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Lokasinya hanya berjarak 500 meter dari jalan raya utama Garut – Tasikmalaya.

Baca Juga: Moeldoko Siap Rangkul Mantan Bendahara Umum Demokrat, Rahmad: Mas Nazaruddin Bisa Menghadapi Cikeas

Dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari situs Mongabay, Naga berasal dari asal kata 'Nagawir' yang dalam bahasa Sunda artinya tebing terjal, yang secara tidak langsung memberi pemahaman tentang ruang hidup mereka.

Lokasinya berada di Hulu Sungai Ciwulan dan diapit perbukitan dataran tinggi dengan kemiringan 45 derajat yang membujur dari timur ke barat.

Untuk sampai ke lokasi perkampungan, pengunjung harus menuruni 400 anak tangga dari batu yang dilapisi semen selebar 2 meter.

Baca Juga: Anas Urbaningrum Disebut Masuk Pengurus Demokrat KLB, Rahmad: 'Sekolah' Dia di Bandung Belum Selesai

Kampung Naga terdiri dari 103 rumah penduduk yang jumlahnya tidak boleh bertambah atau pun dikurangi.

Rumah-rumah di sana berbaris rapi dan sejajar dari timur hingga barat mengikuti arah matahari.

Bagi warga Naga, hidup selaras dengan alam adalah sebuah keniscayaan. Termasuk menjaga amanat kesetiaan pada adat tradisi leluhur atau karuhun.

Baca Juga: Jalani Sidang Tatap Muka, Argo Yuwono ke Simpatisan HRS: Jangan Langgar Prokes, Tetap Ada Batasannya

Terdapat hutan keramat yang disebut Leweung Biuk dengan luas hanya sekitar 1,5 hektar. Hutan tersebut dijaga turun temurun sesuai nenek moyang.

Tidak sembarang orang yang boleh masuk hutan tersebut. Warga Naga percaya bahwa hidup mereka tak akan selamat jika hutan itu tidak dirawat.

Di pinggiran kampung yang dilingkupi kolam ikan terdapat sebuah masjid, satu balai kampung, dan satu bangunan utama yang disebut Bumi Ageung. Ketiga bangunan itu menjadi pusat formasi rumah-rumah di sana.

Baca Juga: Bongkar 'Akting' Nangis di Sidang HRS, Dewi Tanjung: Kalau Tidak Dilaporkan Mereka Semakin Liar

Tempat tersebut biasanya akan ramai pada saat ritual yang digelar pada bulan-bulan sakral. Ketika itu, warga Naga wajib memakai pakaian adat dan mandi di sungai.

Bumi ageung tidak boleh dijadikan objek foto, karena bangunan berukuran sekitar 3×6 meter, beratap ijuk, dan berdinding anyaman bambu itu merupakan bangunan sakral.

Pagar bambu yang memagarinya adalah penanda bahwa bangunan itu keramat.

Baca Juga: Innalillahi, Polisi Terduga Penembak Laskar FPI Tewas, Tifatul Sembiring: Masih Proses Penyidikan Ya

Konon, Bumi Ageung adalah tempat penyimpanan senjata pusaka Kampung Naga berupa tombak dan keris. Setiap hari bangunan ini ditunggui seorang wanita yang sudah tak haid lagi.

Di tepi kolam-kolam ikan terdapat saung lisung, atau tempat menumbuk padi warga setempat.

Warga Naga tidak tertarik sama sekali dengan peradaban modern.

Baca Juga: Wajib Tahu! Inilah Daftar 10 Jenis Pelanggaran yang Akan Ditindak dalam Sistem Tilang Elektronik atau ETLE

“Kesederhanaan membawa kesenangan dalam hidup, kenapa harus berlebihan?” kata Punduh atau Penjaga Naga disana bernama Ma’un.

Pandangan itu terpatri dalam falsafah hidup Adat Naga, yang tertera dalam tutur sebagai berikut: Teu saba, teu soba. Teu banda, teu boga. Teu weduk, teu bedas. Teu gagah, teu pinter.

Artinya adalah: Jika mau hidup bahagia warga Naga harus menjauhi kehidupan harta, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan hidup secukupnya secara bersahaja.

Baca Juga: Hasil Pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Eropa: Jerman Menang Mudah Atas Islandia

Gaya hidup yang tak saling-bersaing memang langsung terlihat secara fisik.
Rumah panggung yang dibangun mengikuti kontur tanah dan disangga kerangka utama dari tiang-tiang kayu.

Satu hal menarik dari warga Naga, yaitu pengetahuan akan mitigasi kebencanaan sudah ada sejak kampung mereka berdiri.

Runah tersebut memiliki bentuk atap segi tiga khas yang disebut atap cagak gunting. Yang mempunyai makna filosofi tentang bersatunya bumi, langit dan semua penghuninya, yang merupakan kesatuan jagat raya.

Baca Juga: Benny Josua Blak-blakan Ungkap Alasan Dijuluki 'Kamus Berjalan' Teroris

Di bagian bawah tiang kayu rumah disangga batu yang berfungsi sebagai pondasi. Dan di atas batu itu berjarak sekitar 60 sentimeter dari tanah, dibentangkan lantai rumah dari papan kayu dan bambu.

Kampung Naga memiliki sejarah kelam, dimana hampir seluruh bangunan di kampung ini dibakar para pemberontak DI/TII pimpinan Kartosuwirjo sekitar tahun 1950-an. Dan hanya menyisakan Bumi Ageung.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: Mongabay News

Tags

Terkini

Terpopuler