PHE mengatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukung pernyataan bahwa ibuprofen dapat meningkatkan risiko terkena COVID-19 atau malah memperburuk gejalanya.
Namun dalam hal ini, para ahli di Inggris justru mendukung Veran. Ahli Virologi di University of Reading Profesor Ian Jones, mengatakan bahwa Ibuprofen dapat mengurangi sistem kekebalan tubuh dan dapat memperlambat pemulihan untuk sembuh dari penyakit yang diidap.
Baca Juga: Cegah Penyebaran COVID-19, Pasar Tradisional Yogyakarta Mulai Lakukan Upaya Preventif
Dr Tom Wingfield dari Liverpool School of Tropical Medicine juga menyebutkan bahwa NSAID seperti ibuprofen, jika diminum dalam jangka waktu yang lama dan sering akan menyebabkan iritasi perut dan kerusakan pada ginjal, yang lebih parahnya lagi jika kondisi tersebut menyerang orang yang memiliki masalah ginjal.
Mereka juga menyebutkan bahwa penggunaan paracetamol sebagai obat pilek lebih dianjurkan dibanding dengan Ibuprofen.
Dokter di Inggris juga menyarankan untuk menggunakan paracetamol atau asetaminofen di Amerika Serikat sebagai obat untuk penyakit pernafasan, termasuk batuk, pilek dan sakit tenggorokan.
Para peneliti dari University of Southampton menemukan pada tahun 2013, bahwa kombinasi Paracetamol dengan Ibuprofen tidak dianjurkan, karena dalam hal ini Ibuprofen dapat memperlambat pemulihan.
Juga, Ibuprofen justru malah dapat berkontribusi terhadap perkembangan penyakit. Sementara COVID-19 hanya bisa diatasi dengan daya tahan tubuh yang kuat dan rentan dari penyakit apapun, termasuk pilek, batuk, dan juga sesak.
"Meskipun kita harus berhati-hati karena ini adalah penemuan yang mengejutkan. Saya pribadi tidak akan menyarankan sebagian besar pasien untuk menggunakan Ibuprofen untuk pengendalian gejala batuk, pilek, dan sakit tenggorokan," ujar Profesor Paul Little dari University of Southampton.