Pakar Hukum: Demonstrasi Penolakan Omnibus Law Tidak Murni Lagi

12 Oktober 2020, 16:51 WIB
Massa membubarkan diri saat polisi menembakkan gas air mata saat demo Omnibus Law UU Cipta Kerja di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 8 Oktober 2020. * /Mohammad Ayudha/Antara

PR TASIKMALAYA - Pakar hukum administrasi negara Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tuba Helan, menanggapi soal aksi penolakan UU Cipta Kerja.

Johanes menilai, demonstrasi penolakan Omnibus Law yang dilakukan serikat pekerja, buruh, mahasiswa, dan pelajar tidak murni sebagai perjuangan aspirasi rakyat.

"Saya mengamati demonstrasi di berbagai daerah tidak lagi murni sebagai sebuah gerakan yang lahir dari kesadaran kolektif rakyat untuk memperjuangkan aspirasi," kata Johanes, Senin 12 Oktober 2020.

Baca Juga: Senin, 12 Oktober 2020: PSBB Transisi Jakarta Buat Rupiah Menguat

Ia mengatakan, hal itu menanggapi demonstrasi di berbagai daerah di Tanah Air untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI.

Johanes menyebut, demonstrasi tersebut sudah tidak murni memperjuangkan sebuah aspirasi karena orang yang berdemo tidak mengetahui hakikat dari aspirasi yang diperjuangkan.

"Ada pendemo yang diwawancarai, ketika ditanya kenapa melakukan demo mereka hanya jawab karena merugikan, lalu ditanya ketentuan mana yang merugikan mereka tidak tahu yang penting merugikan.

Baca Juga: Dibuatkan Lagu oleh Dua Lipa dan Heize, Twice Siap Rilis Album Baru Oktober Ini

"Di sisi lain ada pendemo yang mengaku dibayar untuk hadir mengikuti demonstrasi sehingga menurut saya aksi ini tidak lagi murni," jelasnya.

Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengatakan, demonstrasi yang muncul di berbagai daerah yang di antaranya berujung aksi anarki.

Hal itu merupakan sesuatu yang aneh, karena sebenarnya ada saluran yang tersedia bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan yakni melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga: Soal Merdeka Belajar, DPR: Nadiem Makarim Seharusnya Paparkan Dulu Program itu

Menurutnya, demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja ini terlihat sebagai kepentingan para elit yang tidak bisa diperjuangkan melalui jalur konstitusional kemudian dengan cara-cara mengerahkan massa untuk mengganggu jalannya negara.

"Sebenarnya sudah ada jalur yang tersedia yaitu judicial review di Mahkamah Konstitusi kalau merasa dirugikan supaya demokrasi kita berjalan tertib dan aman, tapi ini kok malah anarkis, merusak berbagai fasilitas publik," paparnya.

Oleh karena itu, kata Tuba Helan, negara perlu menindak tegas pelaku-pelaku anarki maupun oknum atau pihak di balik itu yang menggerakkan aksi massa tersebut.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler