SKB Radikalisme ASN Berpotensi Bungkam Kelompok yang Kritisi Pemerintah

- 3 Desember 2019, 10:31 WIB
Pegawai Negeri Sipil.*
Pegawai Negeri Sipil.* /DOK PR/

TASIKMALAYA (PR)- Penerbitan Surat Keputusan Bersama 11 instansi pemerintah mengenai penanganan radikalisme aparatur sipil negara menuai sorotan.

Alih-alih mencegah, SKB tersebut berpotensi makin memperkuat solidaritas kelompok radikal dan menjadi alat memberangus siapapun yang kritis dan berseberangan dengan pemerintah.

‎Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kota Tasikmalaya Ajat Sudrajat menilai, ada persoalan ketika SKB itu terkait perspektif kebebasan kebebasan berpendapat.

Baca Juga: Wartawan Bisa Gugat Perusahaan yang Beri Upah di Bawah UMK

"‎Ada kekhawatiran aturan ini menjadi aturan karet yang dapat menggeneralisir kritik kepada pemerintah (kemudian) digiring menjadi isu radikalisme," kata Ajat saat dihubungi, Senin 2 Desember 2019.

Imbasnya, kelompok-kelompok kritis bakal dijerat oleh pemerintah dengan dalih masuk kategori radikal.

Seharusnya, ‎pemerintah mengarusutamakan toleransi didalam tubuh/institusi ASN sebagai solusi persoalan radikalisme.

Baca Juga: Petugas BNN Sempat Dicurigai Sebagai Penculik dan Teroris

"Karena jika kita menggunakan teori gerakan, orang atau kelompok yang semakin di tindas akan semakin melawan. Itu berlaku bagi kelompok yang terpapar (paham) radikal, pengekangan yang dilakukan seperti itu hanya kan membuat kelompok mereka kian kuat dan solid," ujarnya.

Pengarusutamaan toleransi bisa dimaknai sebagai upaya-upaya integratif yang dilakukan untuk menghadirkan narasi baru dengan lebih toleran dan menghargai keberagamaan.

"Memperbanyak dialog dan narasi tentang toleransi, serta penguatan literasi digital bagi kalangan ASN," ucap Ajat.

Baca Juga: Komplotan Pencuri Spesialis Minimarket Berhasil Diringkus Polres Tasikmalaya

Dia juga mengungkapkan sejumlah cara agar tolerasi menjadi arus utam bagi para pegawai negeri sipil itu.

"Tak sedikit ASN yang terpapar radikalisme karena faktor informasi fake (palsu) dan hoaks (bohong)," ujarnya.

Demikian pula dengan ASN yang gemar mendengarkan ceramah-ceramah provokatif dari ustad yang tidak mempunyai sanad keilmuan jelas.

Baca Juga: Tengah Jadi Polemik, Dua Proyek Renovasi di Tasikmalaya Diklaim Rampung

"Jika kita melihat persoalan ini dari hulu, saya pikir salah satu persoalannya adalah kurang nya narasi toleransi yang didapatkan kelompok ASN sehingga bacaan tentang politik yang kadang dibalut dengan agama menjadi sangat efektif untuk meracuni alam fikir kelompok itu," tutur Ajat.‎

Radikalisme yang dianggap menjalar di kalangan ASN harus di respon dengan upaya-upaya yang lebih sistematis dan berkelanjutan bukan dengan cara-cara reaktif.

"‎Radikaliame menurut saya adalah persoalan di hilir, persoalan di hulunya adalah ketidakadilan ekonomi, sosial, hukum. Radikalisme itu tumbuh subur di negeri yang rakyatnya kelaparan, di negeri yang rakyatnya menjadi korban ketidakadilan," tuturnya.

Baca Juga: Produksi 120 Ribu Pil PCC Setiap Hari, BNN Gerebek Pabrik Sumpit di Tasikmalaya

Hal senada sebelumnya dikemukakan Muhamad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dalam keterangan tertulis bersama YLBHI, PUSAD Paramadina dan beberapa individu.

"Menurut kami, SKB ini tidak memiliki indikator dan definisi yang jelas, sangat rentan menjadi ajang fitnah dan bisa menyasar ASN yang kritis terhadap instansi dan pemerintahan secara umum," kata Isnur.

Jika melihat redaksi SKB, ada kekeliruan fatal secara konseptual terkait kebencian terhadap pancasila, NKRI dan pemerintah.

Baca Juga: Musim Hujan Tiba, Sejumlah Warga di Tasikmalaya Justru Masih Krisis Air

"Standard larangan kebencian semestinya ditujukan kepada orang, bukan ideologi," ucapnya.

Dasar hukum SKB pun dinilai tak kuat tanpa ada dasar dan payung hukum tentang definisi radikalisme dan intoleransi yang kongkret.***

 

Editor: Abdul Muhaemin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x