Sambut Pilkada Kabupaten Bandung 2020, Bawaslu Menginisiasi Bentuk 31 Desa Anti Politik Uang

- 12 Maret 2020, 18:45 WIB
PENDEKLARASIAN yang diadakan di Hotel Sutan Raja, Kabupaten Bandung pada Rabu, 11 Maret 2020.*
PENDEKLARASIAN yang diadakan di Hotel Sutan Raja, Kabupaten Bandung pada Rabu, 11 Maret 2020.* /Pemprov jabar/


PIKIRAN RAKYAT - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Bandung 2020 kian di depan mata.

Untuk menyambut Pilkada, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bandung menginisiasi pembentukan 31 Desa Anti Politik Uang.

Adapun pendeklarasian itu diadakan di Hotel Sutan Raja, Kabupaten Bandung pada Rabu, 11 Maret 2020. 

Baca Juga: Lawan Virus Corona, Donald Trump Larang Perjalanan dari Eropa ke Amerika Serikat

Dikutip Pikiranrakyat-Tasikmalaya.com melalui situs resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat bahwa pendeklarasian ini dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak aktor politik uang dan mencegah terjadinya politik transaksional pada Pilkada Bandung tersebut.

Sebanyak 31 Kepala Desa (Kades) dan perwakilannya telah mendeklarasikan sikap untuk berkomitmen menolak segala bentuk politik uang yang dimungkinkan terjadi di wilayahnya masing-masing.

Ini dikarenakan Kades dinilai sebagai salah satu aktor politik yang mempunyai peranan penting dalam memutus politik transaksional tersebut.

Dituturkan Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu Kab Bandung, Hedi Ardia, gerakan Desa Anti Politik Uang ini merupakan pilot project bagi wilayah-wilayah lainnya.

Baca Juga: Tanggapi Ancaman Hukuman Mati untuk Pelaku Pembunuhan Siswi Delis, Kejari Kota Tasikmalaya Sebut Hal Tersebut Sudah Sesuai

Dalam arti lain, para Kades yang dipilih untuk bergabung dalam program ini merupakan rekomendasi yang disampaikan oleh Panwaslu kecamatan yang tersebar di 31 kecamatan.

“Setelah mereka menyatakan sikapnya juga kami langsung sampaikan mengenai landasan filosofis, yuridis dan sosiologis dengan langsung memberikan sosialisasi saat itu juga mengenai bahaya politik uang yang bisa merusak bangungan demokrasi bagi kepala desa,” jelas Hedi.

Diharapkan, keberadaan desa anti politik uang ini dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai bahaya politik uang.

Terlebih aksi politik uang akan diancam pidana. Ini tertera dalam ketentuan pasal 187A Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Pelanggar pasal tersebut pun akan dikenakan sanksi hukuman penjara dan denda.

Baca Juga: Kasus Virus Corona Semakin Bertambah, 5 WNI Dinyatakan Positif COVID-19 di Singapura

"Sanksinya mulai hukuman penjara selama 36 bulan hingga 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 ribu dan paling banyak Rp 1 milliar. Pidana yang sama diberikan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerima pemberian atau janji seperti ketentuan pasal tersebut," ucapnya.

Selain secara yuridis telah melanggar, fakta sosiologis menunjukkan operasionalisasi para politisi memenangi pemilihan dengan mendistribusikan projek-projek berskala kecil, seperti memberikan uang tunai atau barang kepada para pemilih.

"Mereka mendapatkan dana untuk membiayai kampanye mereka dengan memperjual-belikan kontrak, perizinan dan manfaat-manfaat lainnya dengan para pengusaha. Mereka juga terlibat dalam pertarungan yang tak ada ujungnya dengan politisi saingan mereka dan dengan birokrat untuk merebut kendali atas sumber-sumber daya negara dalam rangka membiayai kegiatan politik mereka," jelasnya.

Baca Juga: Pelaku Pembunuhan Siswi Delis Terancam Hukuman Mati, Ibu Kandung Korban Merasa Lega

Dalam pemaparan lebih lanjut, Hedi menilai sejumlah politisi Indonesia lebih bergantung pada struktur organisasi yang bersifat adhoc dan personal.

Dalam arti lain, struktur organisasi ini dikenal dengan sebutan 'tim sukses' ketimbang partai.

Hubungan yang terjalin dapat berselimutkan kekerabatan, pertemanan, jaringan usaha, agama atau suku.

Baca Juga: Miliki 50 Juta Penduduk di Tahun 2020, Jawa Barat Siap Menopang Perekonomian Nasional

Selain itu, birokrat juga dianggap memegang kendali atas sumber daya negara dan merupakan aktor kunci dalam kampanye pemilihan.

“Tentu kita tidak ingin pesta demokrasi bukan sekadar demokrasi prosedural saja. Tapi, prinsip-prinsip demokrasi itu bisa ditegakkan sehingga pada akhirnya masyarakat pun bisa sejahtera karena pemimpinnya memang bersih dan punya komitmen terhadap rakyatnya bukan kelompoknya,” pungkas Hedi.***

Editor: Rahmi Nurlatifah

Sumber: Pemprov Jabar


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x