Studi Baru Sebut Bahwa Pria Botak Memiliki Risiko Lebih Tinggi Alami Kematian Akibat Covid-19

7 Juni 2020, 09:35 WIB
ILUSTRASI pria botak.* /Pexels

PR TASIKMALAYA - Penelitian baru mengklaim bahwa laki-laki botak bisa memiliki risiko lebih tinggi terkena gejala Covid-19 yang parah.

Carlos Wambier, seorang peneliti di Brown University, mengatakan kepada Daily Telegraph bahwa ia berpikir kebotakan adalah indikator sempurna yang menentukan tingkat keparahan terpapar virus corona.

Namun, profesional medis lainnya mendesak agar berhati-hati dalam penelitian tersebut.

Baca Juga: Polisi Buffalo Didakwa Lakukan Kejahatan, Demonstran Lanjut Usia yang Didorongnya Masih Kritis

Mereka menyebutkan bahwa perlu adanya lebih banyak bukti untuk mendukung penemuannya tersebut.

Dikutip oleh PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari situs Independent, Prof Wambier melakukan dua studi di Spanyol, di mana ia menyimpulkan bahwa sejumlah besar pria botak dibawa ke rumah sakit akibat terpapar virus corona.

Dari 41 pasien yang dia periksa dalam studi pertamanya, 71 persennya adallah pria dengan memiliki pola kepala yang botak.

Dalam studi lebih lanjut, yang diterbitkan dalam Journal of American Academy of Dermatology , Profesor Wambier menemukan hampir 80 persen dari 122 pasien Covid-19, adalah laki-laki di Madrid yang memiliki kebotakan.

Baca Juga: Tak Semazhab dengan Sikap Trump Kerahkan Militer, Wali Kota Washington Dukung Demonstran

"Kami pikir androgen atau hormon pria jelas merupakan pintu gerbang bagi virus untuk memasuki sel tubuhnya," katanya.

Penelitian ini muncul setelah bukti menunjukkan bahwa pria lebih mungkin meninggal karena Covid-19 daripada wanita.

Para ilmuwan percaya bahwa androgen, hormon seks pria yang dapat menyebabkan rambut rontok, juga bisa meningkatkan kemampuan virus untuk menyerang sel.

Oleh karena itu beberapa peneliti telah mulai menyelidiki apakah perawatan yang menekan hormon ini dapat membantu pasien dengan Covid-19.

Baca Juga: Tuntut Akhiri Rasisme dan Kebrutalan Polisi di AS, Demonstran: Kami Berbaris untuk Harapan

Beberapa terapi ini digunakan untuk mengobati penyakit seperti kanker prostat.

Tetapi Karen Stalbow, kepala kebijakan di Prostate Cancer UK , mendesak kehati-hatian atas temuan seperti itu.

"Sekarang ada beberapa studi klinis mulai yang berharap untuk mengatasi masalah ini, tetapi banyak bukti yang diperlukan sebelum kita dapat mengetahui apakah terapi hormon ini akan menjadi pengobatan yang efektif untuk Covid-19," ujar Salbow.***

Editor: Rahmi Nurlatifah

Sumber: Independent

Tags

Terkini

Terpopuler