Hoaks Atau Fakta: Benarkah Mahasiswa Tertembak Saat Demo UU Cipta Kerja?

17 Oktober 2020, 15:47 WIB
Ilustrasi pistol. //PIXABAY//Steve Buissinne


PR TASIKMALAYA - Sebelumnya dikabarkan seorang mahasiswa tertembak saat demonstrasi penolakan atas pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) di kantor DPRD Baubau, Sulawesi Tenggara pada Jumat lalu tidak benar alias hoaks, 9 Oktober 2020.

Hal itu mendapat tanggapan dari Kapolres Baubau, AKBP Zainal Rio Candra Tangkari menepis hoaks yang menyatakan bahwa sang mahasiswa tertembak senjata api atau peluru karet milik aparat di lengan sebelah kirinya.

“Dugaan bahwa luka tersebut adalah bekas luka tembak atau peluru karet, sama sekali tidak benar. Tidak benar,” tegas Zainal kepada awak media, Sabtu 17 Oktober 2020.

Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Dua Instrumen Penting Pemulihan Ekonomi Indonesia di Masa Pandemi Covid-19

Menurut hasil penyelidikan pihak kepolisian, tidak ditemukan satupun bukti yang menguatkan adanya dugaan penembakan senjata api maupun peluru karet yang dilakukan polisi dalam unjuk rasa tersebut.

Dalam keterangannya, Rio memperlihatkan sejumlah foto kepada media tentang pemeriksaan senjata yang dipegang personil anggota polisi sebelum melakukan pengamanan unjuk rasa mahasiswa di Kantor DPRD Baubau.

"Sudah dilakukan pengecekan (senjata), tidak ada satupun (personil) yang membawa senjata api,” ujarnya, dikutip dari situs RRI. 

Selain itu, Rio juga memperlihatkan baju jas almamater yang dikenakan mahasiswa yang tidak tersobek pada lengan kiri baju tersebut.

Baca Juga: Bisa Atasi Kanker, Berikut Resep Jus Jambu Biji Segar yang Mudah Dibuat di Rumah

Keterangan Kapolres tersebut juga dikuatkan dengan pernyataan dari dokter UGD RSUD Palagimata, dr Kenangan, yang turut hadir dalam konferensi pers.

Kenangan mengatakan luka akibat peluru itu ada dua jenis yaitu luka tembus dan luka tidak tembus.

Menurutnya, bila ada luka tidak tembus dan ada perlukaan, biasanya ditemukan ada anak peluru atau serpihan peluru.

“Pada saat kami melaksanakan identifikasi luka itu, tidak ditemukan adanya benda asing dalam luka tersebut. Jadi deskripsi luka yang kami temukan bahwa kekerasan ini akibat kekerasan tumpul bisa akibat oleh kayu, batu, atau besi,” ucap Kenangan.

Baca Juga: Jokowi Sebut Bank Dunia Ikut Memuji UU Cipta Kerja, Netizen: Kenapa Kata Rakyat Tak Didengar?

Dalam konferensi pers tersebut turut hadir, seorang perawat, Lia, yang menangani luka mahasiswa tersebut.

Dia menjelaskan, ketika mahasiswa datang berobat ia bertanya penyebab luka yang dialami seorang mahasiswa di lengan kiri atas.

“Dia (mahasiswa) itu berkata itu (luka akibat) terkena peluru karet. Terus teman saya mengatakan ‘coba periksa dulu jangan sampai ada sisa-sisa peluru karet di lukanya’. Saya periksa juga di lukanya itu tidak ada sisa-sisa dari peluru karet,” beber Lia.

Sebelumnya, LBH Pospera Meminta agar Polres Baubau segera menindak Lanjuti Laporan terkait dugaan Penganiayaan dengan Senjata Api terhadap salah seorang massa aksi bernama Nur Sya’ban Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Unidayan pada tanggal 9 Oktober 2020 Lalu.

Baca Juga: Prabowo Subianto Ulang Tahun, Menteri KKP: Mengenalnya Anugerah Besar

Sebagai Tim Kuasa Hukum Korban, telah resmi memasukan Laporan di Mapolres Kota Baubau dengan Laporan Polisi Nomor : LP/413/X/RES.7.4/2020/RES.BAU-BAU tanggal 14 Oktober 2020.

Direktur LBH Pospera Baubau, Agung Widodo, mengatakan insiden kejadian penembakan terhadap salah seorang massa aksi terjadi dalam kegiatan aksi demonstrasi menuntut penolakan Undang-Undang Omibus Law Cipta Kerja di kantor DPRD.

“Senjata api seharusnya digunakan untuk keadaan genting. Senjata api tidak boleh digunakan kecuali mutlak diperlukan dan tak bisa dihindari lagi demi melindungi nyawa seseorang. Penggunaan senjata Api dalam aksi demontrasi itu sudah di luar proporsi dan pelanggaran HAM berat,” kata Agung melalui pesan pendeknya.

Baca Juga: Perlihatkan Kartun Nabi Muhammad pada Muridnya, Seorang Guru di Prancis Tewas Ditikam

Ia menyatakan, polisi harus melakukan investigasi secara menyeluruh, efektif, dan independen dan mengusut tuntas kasus a quo.

“Proses hukum juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, jangan ada yang ditutup-tutupi dan direkayasa. Keluarga korban dan aktivis berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai ada impunitas hukum seperti yang selama ini terjadi,” tulisnya.***

Editor: Rahmi Nurlatifah

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler