Selanjutnya, Illiza memaparkan empat perspektif yang melandasi urgensi pembahasan RUU yang masuk dalam daftar 37 RUU Program Legislasi nasional 2020.
Perspektif pertama, perspektif filosofis. Bahwa larangan minuman beralkohol diperlukan untuk mewujudkan nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Kedua perspektif sosial. Banyaknya orang yang meninggal karena minuman beralkohol, timbulnya kejahatan dan kekerasan di masyarakat, membuat RUU larangan Minuman Beralkohol menjadi kebutuhan mendesak untuk menciptakan kestabilan sosial.
Baca Juga: Buntut Ucapan Kontroversi, Nikita Mirzani Dapat Ultimatum 1x24 Jam dari Habib Alwi
Ketiga perspektif yuridis formal, khususnya hukum pidana. RUU Larangan Minuman Beralkohol sudah sangat urgen untuk diterapkan. Hal tersebut sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah tidak memadai, sehingga dibutuhkan untuk dibentuknya UU baru.
Keempat perspektif pembangunan hukum dalam mewujudkan tujuan negara, tujuan hukum, dan tujuan hukum pidana.
Namun Ibnu Multazam selaku Wakil Ketua Baleg DPR RI mengatakan, hendaknya pengusul RUU dapat memberikan penjelasan terkait dengan substansi dan menjurus pada hal-hal pokok yang menjadi urgensi dasar atas pentingnya RUU tersebut.
Baca Juga: Soal Rencana Reuni PA 212, DPRD Jakarta: Bisa Digelar Tahun Berikutnya Kalau Covid-19 Terkendali
“Lah ini berarti pabrik-pabrik minuman beralkohol juga harus dihentikan produksinya. Dilarang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, mengonsumsi minuman beralkohol,” pungkasnya.***