“Dampak pandemi bisa jadi akan mencapai puncaknya pada tahun 2021, kondisi ini akan terasa semakin berat bagi warga miskin dan juga pelaku usaha kecil. Maka harus ada skema anggaran yang mamadai untuk jaring pengamanan sosial, akses pendidikan, dan pemulihan UMKM," papar Sukamta.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (Core) Muhammad Faisal menilai struktur RAPBN 2021 dengan defisit 5,7 persen, cukup realistis.
Baca Juga: Pejabatnya Dibunuh oleh Militer Korea Utara. Menlu Korsel: Upaya Perdamaian Akan Tetap Berjalan
Di sisi lain, ujar Faisal, anggaran kesehatan perlu diperbesar dan digenjot realisasinya karena kebutuhan penanganan pandemi masih tinggi pada tahun depan.
"Saya perkirakan baru pada 2021 (mulai mereda), tapi itu belum langsung, perlu waktu, mudah-mudahan semester kedua, artinya konsekuensi belanja pemerintah untuk penanganan Covid tetap harus besar," katanya di Jakarta, Senin, 21 September 2020.
Pemerintah, lanjut dia, perlahan mengurangi defisit dari tahun ini mencapai 6,34 persen menjadi 5,7 persen karena ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 masih tinggi pada 2021.
Toleransi defisit melebar karena pandemi virus corona ini akan berlangsung hingga 2022 dan akan kembali dalam batas maksimal sesuai amanat UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar tiga persen.
Baca Juga: Pejabatnya Dibunuh oleh Militer Korea Utara. Menlu Korsel: Upaya Perdamaian Akan Tetap Berjalan
Direktur Eksekutif Core Indonesia ini mengharapkan pelebaran defisit itu diarahkan optimal salah satunya dalam penanganan pandemi Covid-19.
Namun, dalam RAPBN 2021, anggaran kesehatan menurun dari Rp 212,5 triliun sesuai Perpres 72 Tahun 2020 menjadi Rp169,5 triliun, meski secara persentase nominal itu mencapai 6,2 persen dari RAPBN atau melebihi dari amanat undang-undang sebesar lima persen.***