Gibran Disebut Politikus Instan oleh PDIP, Arief Munandar: Ada Kompetisi Antara Teuku Umar dengan Istana

- 31 Maret 2021, 12:40 WIB
Sosiolog Arief Munandar menyebut ada gesekan yang tengah terjadi di antara kubu Megawati dengan Presiden Jokowi.*
Sosiolog Arief Munandar menyebut ada gesekan yang tengah terjadi di antara kubu Megawati dengan Presiden Jokowi.* //Tangkapan layar YouTube Bang Arief

PR TASIKMALAYA- Pernyataan Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon terkait Wali Kota Solo Gibran Rakabuming, turut ditanggapi oleh Sosiolog Arief Munandar. 

Adanya pernyataan dari kader PDIP yang menyebut Wali Kota Solo Gibran Rakabuming sebaggai seorang politikus instan, dikaitkan Arief Munandar dengan adanya gesekan yang terjadi antara Megawati Soekarnoputri dengan Jokowi.

Hal itu disampaikan Arief Munandar dalam unggahan video di kanal YouTube miliknya dengan megatakana bahwa dirinya melihat bahwa kekisruhan yang kerap terjadi dengan melibatakn kubu PDIP dan Istana, menandakan adanya gesekan antara Megawati dan Jokowi.

Baca Juga: Fahri Hamzah : Sebut Teroris Saja Supaya Tidak Terjebak Menyeret Agama dan Warga Umumnya

Sebelumnya, Effendi Simbolon sempat membuat pernyataan dengan mengakui bahwa Wali Kota Solo Gibran Rakabuming yang juga putra dari Jokowi itu sebagai seorang politikus Fast Growing atau instan.

Lebih lanjut, Effendi Simbolon pun mengatakan bahwa hal itu berbeda dengan Puan Maharani yang telah terjun ke dunia perpolitikan sejak masih kuliah.

Menanggapi hal tersebut, sebagaimana diberitakan Bekasi.Pikiran-Rakyat.com dalam judul artikel "PDIP Sebut Gibran Politikus Instan, Arief Munandar: Terlihat Ada Gesekan antara Megawati dan Jokowi", Arief Munandar pun menuturkan bahwa hal ini menandakan bahwa hubungan antara kubu PDIP dengan Istana sedang tidak baik.

Baca Juga: Mengaku Siap Nyapres di 2024 , Ridwan Kamil: Saya Anggap Pilpres Seperti Kompetisi Badminton Saja

"Mau tidak mau terlihat adanya semacam gesekan atau kompetisi antara Teuku Umar dengan Istana, Teuku Umar ini adalah tempat kediamannya Megawati, sementara Istana ini adalah simbol tempat kediamannya Jokowi," ucapnya.

Gesekan tersebut, kata Arief, salah satunya adalah Jokowi yang berkali-kali disebut oleh Megawati sebagai petugas partai PDIP.

"Akhirnya kita melihat memang walaupun Jokowi berkali-kali oleh Megawati disebut sebagai petugas partai, tapi kan kita gak boleh lupa ya, pak Jokowi ini datang tidak dari PDIP, dia ini migran ya, mengalami migrasi ke dalam PDIP," tuturnya.

Baca Juga: Pakar Duga 'Obsesi Pemerintah' Teroriskan FPI, Refly Harun: Hambat Pihak yang Tengah Cari Keadilan

Arief Munandar menjelaskan bahwa Jokowi sebelumnya bukanlah orang PDIP, bahkan bukan juga kader PDIP. Jokowi, ungkapnya, dipinang, diusung, dan didorong oleh PDIP untuk menjadi calon presiden pada tahun 2014.

Dalam kondisi seperti ini, kata Arief Munandar, walaupun Jokowi diposisikan sebagai petugas partai dan berkali-kali Megawati mengingatkan hal tersebut.

Namun pada akhirnya, menurutnya, publik mau tidak mau, hari demi hari semakin melihat adanya semacam konflik antara Megawati dan Jokowi.

Baca Juga: Tinjau Lokasi Kebakaran Kilang Minyak Balongan, Ahok: Saya Apresiasi Tim Penanganan

"Jadi orang melihat adanya tarik-menarik di antara kedua kubu ini, baik dalam konteks PDIP maupun konteks negara," tuturnya sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Bang Arief, Selasa, 30 Maret 2021.

Lebih lanjut, Arief Munandar juga mengingatkan bahwa beberapa waktu yang lalu terdapat suara-suara yang ingin mendorong Jokowi untuk kelak menganggantikan Megawati menjadi Ketua Umum PDIP.

"Pada sisi yang lain kita lihat sementara ini orang percaya kecenderungannya bahwa PDIP itu diarahkan Megawati setelah menjadi ketua umum 20 tahun yang lalu untuk menjadi kendaraan politik atau singgasana bagi trah Soekarno," ucapnya.

Baca Juga: Ferdinand Hutahaean Komentari Fahri Hamzah, Imbau Kaum Radikal dan Teroris Tidak Gunakan Simbol Arab

"Kita juga gak terlalu yakin apakah Megawati bersedia untuk menyerahkan singgasana kepemimpinan tadi kepada orang selain Puan Maharani (putrinya)," sambungnya.

Artinya, kata Arief Munandar, keturunan langsung dari Megawati yang merupakan trah Soekarno.

Hal ini menurutnya menjadi semakin menarik karena kemudian, tarik ulur di antara kedua kubu tersebut sangat terlihat dalam banyak hal.

Baca Juga: Moeldoko Akan Tertibkan Internal PD, Herzaky Mahendra: Mana Bisa Ketum Abal-abal Mau Mendemisionerkan Kami

"Akhirnya orang menafsirkan setiap ada pemilihan pejabat-pejabat penting di lingkaran dalam kekuasaan, tarik ulur tadi antara Megawati dan Jokowi itu terasa betul," tutupnya.

Sebelumnya, Effendi mengungkapkan hal tersebut saat menjawab pertanyaan host Margi Syarif dalam diskusi Polemik Trijaya yang bertajuk “Senjakala Regenerasi Parpol” yang disiarkan daring di kanal Youtube MNC Trijaya, Sabtu, 26 Maret 2021.

"Ya kalau Mbak Puan sudah sangat lama ya dari zaman dia kuliah, sudah puluhan tahun yang lalu, tidak ujug-ujug masuk politik praktis. Akan berbeda dengan Gibran, Gibran nyata, instan, fast growing," kata Effendi.

Baca Juga: Risih dengan Tuduhan Korupsi, Marzuki Alie: Tidak Ada Fakta Hukum Sama Sekali

Namun, Effendi melihat bahwa faktanya masyarakat Indonesia justru meng-amini kondisi Gibran ini dan bahkan tak sedikit yang mengidolakan Gibran.

Jadi menurutnya, antara hal yang lucu maupun tidak lucu ini memang sering terjadi di Indonesia sehingga alam pikirannya menjadi kacau.

"Jadi ya antara lucu dan tidak lucu di Indonesia sering terjadi, akhirnya diidolakan, alam pikir kita kacau jadinya, kayak makan micin kebanyakan, otak jadi migrain. Kebanyakan micin kita," tuturnya.

Baca Juga: Simak! BKN Umumkan 3 Tahap Seleksi dan Jadwal PPPK Guru 2021

Menurut Anggota Komisi I DPR ini, alam berpikir masyarakat Indonesia ini seringkali tidak normal.

Dia pun mengumpamakan logika orang bersekolah, seharusnya orang lulus SD masuk SMP, lalu ke SMA dan kuliah, tetapi kadang logikanya di balik dan yang mempertanyakan itu justru ditanya masalahnya di mana.

"Ini enggak, dari SD jadi dosen. Kok kamu bisa jadi dosen? (dijawab) loh kamu kok nanya? Kenapa? Ada yang masalah? Kemudian, karena dosen saya baik, jadi dekan deh, jangan jadi rektor aja. Di republik ini memang terjadi." tutup Effendi.***(Ghiffary Zaka/Bekasi.Pikiran-Rakyat.com)

Editor: Arman Muharam

Sumber: Bekasi Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x