PR TASIKMALAYA- Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti memberikan tanggapannya perihal wacana penambahan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode.
Menurut keterangannya, Bivitri Susanti menuturkan bahwa bila wacana masa jabatan Presiden 3 periode ini jadi diterapkan di Indonesia, maka akan teradapat beberapa dampak yang akan dihadapi.
Dampak yang pertama, diungkapkan Bivitri Susanti, adalah adanya implikasi hukum negatif, jika masa jabatan Presiden 3 periode tersebut jadi diterapkan di Indonesia.
Baca Juga: Tenggelam ke Lubang Galian C, Dua Anak Ditemuukan Tak Bernyawa di Riau
Untuk diketahui, meskipun Presiden Jokowi sendiri telah menegaskan bahwa dirinya menolak dan tidak berminat untuk menjabat 3 periode, namun sejumlah kalangan tetap memberikan tanggapannya.
Bahkan, sejumlah pihak menilai bahwa usulan tersebut merupakan ide buruk dan juga membahayakan.
Sebagaimana diberitakan Depok.Pikiran-Rakyat.com dalam judul artikel "Respons Wacana Jabatan Presiden 3 Periode, Bivitri Susanti Singgung Soal Skor Indeks Demokrasi Indonesia", hal tersebut disampaikan Bivitri Susanti saat kesempatan diskusi dengan tema "Merefleksikan Kembali, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan?" di Jakarta, Rabu 24 Maret 2021.
Baca Juga: Link Live Streaming Mata Najwa Trans7 Rabu 24 Maret 202: Ujian di Lapangan
"Ada implikasi hukum tapi negatif, karena masa jabatan yang terlalu lama berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," kata Bivitri Susanti sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.
Selanjutnya, kata dia, dampak jika menerapkan masa jabatan Presiden 3 periode di Indonesia adalah memperlambat generasi kepemimpinan antargenerasi berikutnya.
Dalam menyikapi wacana masa jabatan Presiden 3 periode tersebut, pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia ini mengajak masyarakat untuk tetap bersikap kritis.
Bivitri Susanti menjelaskan, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Economist Intelligence Unit, Indonesia memperoleh skor indeks demokrasi sebesar 6,30 persen atau peringkat 64 dari 167 negara.
Dengan demikian menurutnya, yang harus diperkuat saat ini ialah pondasi konstitusi dan demokrasi. Apalagi, indeks demokrasi Indonesia mengalami kemunduran sehingga harus jadi pengingat mengenai keadaan demokrasi di Tanah Air.
Bivitri Susanti juga menyebut penambahan masa jabatan kepala negara menjadi tiga periode tidak hanya berdampak pada tatanan atas, namun juga berimbas ke tatanan paling bawah.
Lebih lanjut, ia menjelaskan dalam menjalankan tampuk pemerintahan, Presiden akan selalu berjalan dengan orang-orang sekelilingnya baik dari sektor formal maupun nonformal.
"Jadi ada oligarki yang menginginkan supaya terus menerus kekuasaannya dipelihara," kata Bivitri Susanti menjelaskan.
Dengan demikian, ia menegaskan bahwa publik tidak boleh hanya melihat dari sosok Presiden Jokowi saja melainkan orang-orang yang mengikutinya.
Bivitri Susanti menyebutkan bahwa sebelum isu tersebut bergulir, tidak ada pihak yang membicarakan masa jabatan Presiden tiga periode, namun secara tiba-tiba para elite politik tertentu membicarakannya.
Selama ini masyarakat lebih fokus kepada isu-isu konkret, misalnya penanganan korupsi, pembungkaman demokrasi, pandemi Covid-19, ekonomi yang menurun dan lain sebagainya.
Akan tetapi, ketika isu tersebut dimunculkan oleh elite politik atau dari kalangan pendukung Jokowi sendiri, menyebabkan adanya wacana masa jabatan presiden menjadi 3 periode.
"Jadi harus kita perhatikan betul siapa yang membawa-bawa ini sebenarnya," katanya mengakhiri.***(Filio Duan/Depok.Pikiran-Rakyat.com)