Dituduh Anti Dumping, Indonesia Diperkirakan Terancam Alami Kerugian hingga Puluhan Triliun Rupiah

9 Juni 2020, 09:35 WIB
ILUSTRASI bendera merah putih, bendera Indonesia* /PIXABAY/

PR TASIKMALAYA - Indonesia terancam kehilangan devisa sebesar $ 1,9 miliar atau Rp 26,5 Triliun.

Hal ini dikarenakan adanya 16 tuduhan yang masuk dari trade remedy terhadap produk ekspor Indonesia.

Trade remedies adalah instrumen yang digunakan secara sah untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara dari kerugian atau ancaman akibat praktek perdagangan tidak adil.

Baca Juga: Insiden George Floyd Picu Kerusuhan Sipil, Minneapolis Berencana Tutup Kepolisian

"Ini bisa menyebabkan hilangnya devisa negara yang diperkirakan senilai USD 1,9 miliar atau setara Rp 26,5 triliun," ujar Plt Direktur Jenderal Luar Negeri Kemendag, Srie Agustina

Tuduhan ini datang di tengah pandemi Covid-19, di saat negara sedang membutuhkan dana yang besar untuk mengatasi pandemi ini.

"Suatu angka yang tidak sedikit di tengah kita membutuhkan sumber sumber devisa negara (saat pandemi)," ujarnya saat menjadi pembicara kunci dalam seminar daring, Senin 8 Juni 2020.

Demikian dikutip dari artikel Pikiran-Rakyat.com dengan judul Indonesia Berpotensi Rugi Hingga Rp 26,5 Triliun Akibat Tuduhan Anti Dumping.

Baca Juga: Petugas Berhasil Sita Narkoba Jenis Sabu dari Sebuah Vila Mewah di Kota Tasikmalaya

Sementara itu, terdapat delapan produk yang mendapat tuduhan baru anti dumping dan safeguard yaitu monosodium glutamat, produk baja, produk aluminium, produk kayu, produk benang tekstil, bahan kimia, mattress bed dan produk otomotif.

Anti dumping sendiri diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan prakteknya bisa berupa bea masuk anti dumping (BMAD) ataupun bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) atau safeguards.

Penggunaan instrumen anti dumping sepanjang periode 2014-2019 mengalami kenaikan 36 persen menjadi 244 kasus pada tahun 2019.

Sementara itu tindakan trade remedy di Indonesia tercatat sebanyak 84 kasus dari pengenaan instrumen trade remedy global.

Baca Juga: Bertengkar Usai Pesta Sabu di Villa Mewah Kota Tasik, Pasangan Bandar Sabu Digerebek Polisi

Dalam hal ini, Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Bachrul Chairi mengatakan semakin kuatnya tuduhan dumping terhadap produk ekspor Indonesia dipicu oleh pertumbuhan ekonomi global yang mengalami kontraksi di tengah pandemi Covid 19.

Hal ini berujung pada upaya pemberian tindak pengamanan dagang sebagai respons terhadap produk ekspor Indonesia.

Nyaris semua negara melakukan tindakan memberikan intensig untuk ekspor, serta berupaya menghambat impor.

"Dalam konteks pasar tujuan ekspor Indonesia sudah terlihat tendensi peningkatan penggunaan 'trade remedy tools' berupa tindakan anti dumping, tindakan anti-subsidi, dan safeguard," ujar Bachrul.

Baca Juga: Diduga Jadi Tempat Transaksi Narkoba, Sebuah Vila Mewah di Kota Tasikmalaya Digerebek Polisi

Selama wabag Covid-19, Indonesia juga melakukan inisiasi penyelidikan sebanyak dua kasus terkait anti dumping oleh negara mitra dagang.

Bachrul mengatakan bahwa ada kecenderungan penggunaan instrumen 'trade remedy' digunakan sebagai proteksi industri dalam negeri.

Menurut Bachrul, potensi tuduhan tersebut dinilai cukup mengkhawatirkan karena industri dalam negeri mengalami penurunan produksi akibat pandemi.

"Bila terkena tarif tambahan maka akan sangat membebani industri dalam negeri," ujar Bachrul.

Baca Juga: Kasus Covid-19 di Kabupaten Tasikmalaya Mulai Landai, Kewaspadaan Jangan Diabaikan

Sementara itu, Indonesia berada pada peringkat delapan negara yang paling sering menjadi target dalam penyelidikan dan penerapan anti dumping measure di dunia.

Negara-negara yang paling sering menuduh Indonesia dengan instrumen remedy tercatat adalah India 54 kasus, Amerika Serikat 37 kasus, Uni Eropa 37 kasus, ASEAN 34 kasus dan Australia 28 kasus.*** (Tia Dwitiani Komalasari)

Editor: Rahmi Nurlatifah

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler