Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan, Presiden Jokowi Dinilai Permainkan Hati Rakyat

18 Mei 2020, 10:35 WIB
ILUSTRASI Iuran BPJS Kesehatan.* /ARMIN ABDUL JABBAR/PR

PIKIRAN RAKYAT - Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan tengah menjadi banyak sorotan, pasalnya akan mengalami kenaikan Juli 2020 mendatang.

Terkait hal ini, Presiden Joko Widodo dinilai telah membangkang putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah membatalkan Peraturan Presiden tentang kenaikan iuran BPJS.

Dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari situs Galamedia, Kebijakan Presiden menaikkan iuran BPJS Kesehatan dinilai oleh salah seorang anggota DPR Komisi IX sebagai hal yang mempermainkan hati rakyat.

Baca Juga: Berada di Level Berat, Nasib PSBB di Kota Tasikmalaya Diputuskan Hari Ini

"Apa yang dilakukan Presiden Jokowi itu menyakiti dan mempermainkan hati rakyat," ungkap Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Heryawan dalam siaran persnya, Ahad 17 Mei 2020.

Sebagaimana diketahui, Perpres No. 64/2012 menetapkan iuran peserta PBPU dan peserta BP kelas 1 sebesar Rp150.000, kelas 2 yakni sebesar Rp 100.000, dan kelas 3 iuran yang ditetapkan sebesar Rp 42.000.

Angka ini lebih rendah dari Perpres 75/2019 yang sebesar Rp 160.000 kelas I, kelas II sebesar Rp 110.000, dan Rp 51.000 kelas III yang beberapa waktu lalu dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Baca Juga: Jembatan Gantung Penghubung Tiga Desa Terputus, 3 Warga Selamat Meski Sempat Tercebur ke Sungai

Apalagi menurut Netty, kenaikan iuran BPJS ini justru dilakukan pemerintah saat kesehatan dan ekonomi rakyat dihantam badai Covid-19. 

"Negara kita memang beda, saat rakyat butuh bantuan karena hantaman corona, justru pemerintah menaikkan iuran," kata Netty.

Netty mengungkapkan, saat seperti ini pemerintah seharusnya melonggarkan segala bentuk tanggungan masyarakat, bukan justru tambah membebani.

Baca Juga: Berada di Level Berat, Nasib PSBB di Kota Tasikmalaya Diputuskan Hari Ini

"Dalam keadaan seperti sekarang, negara lain justru berusaha mensubsidi rakyatnya. Inggris misalnya, yang akan melakukan apa saja untuk mensubsidi NHS (National Health Services). Pemerintah kita malah menambah beban rakyat. Makanya saya bilang, negara kita memang beda," terang Netty.

Padahal selama ini, kata Netty pemerintah  memiliki uang guna memberikan stimulus pada korporasi besar.

Tidak hanya itu, pemerintah menurutnya juga sanggup membiayai program aneh, seperti Program Kartu Prakerja yang seharusnya ditunda.

Baca Juga: Sedang Jalani Proses PDKT Tanpa Kepastian? Ketahui Tiga Zodiak yang Paling Takut Berkomitmen

"Memberi stimulus ke perusahaan-perusahaan besar sanggup, sementara mengurangi beban rakyat tidak mau. Ini kan patut dipertanyakan," katanya.

Menurut Netty, menaikkan iuran, juga belum tentu bisa mengurangi defisit BPJS, justru kalau tidak cermat bakal memperlebar.

"Salah-salah justru bisa memperlebar defisit karena orang-orang akan ramai-ramai pindah kelas, dari kelas I dan II bisa saja pindah ke kelas III. Orang-orang juga bakal mangkir membayar iuran. Bahkan dapat  menjadi pemicu lahirnya sikap pembangkangan massal karena merasa terlalu ditekan dalam kehidupan yang makin sulit," ujar Netty.

Baca Juga: Jembatan Gantung Penghubung Tiga Desa Terputus, 3 Warga Selamat Meski Sempat Tercebur ke Sungai

Dikatakan, keputusan MA kemarin sudah jelas, beberapa alasan dikabulkannya gugatan atas Perpres 75/2019 itu karena keuangan BPJS tidak transparan.

Ditambah lagi bonus yang berlebihan untuk pejabat BPJS, juga banyak perusahaan yang tidak bayar BPJS, harusnya ini yang dikoreksi bukan malah menambah beban rakyat.

Netty meminta agar pemerintah tidak bermain-main dan mengakali hukum dengan menerbitkan Perpres 64/2020 ini. ***

Editor: Gugum Rachmat Gumilar

Sumber: Galamedia

Tags

Terkini

Terpopuler