Tercatat Banyak Kepala Daerah Terjerat Korupsi, Eks Jubir KPK Ajak Masyarakat Teliti Memilih Paslon

29 November 2020, 18:00 WIB
Febri Diansyah. //ANTARA//Benardy Ferdiansyah/aa

PR TASIKMALAYA – Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (Jubir KPK) Febri Diansyah yang juga sebagai pendiri Visi Integritas Law Office, ajak masyarakat untuk jeli memilih pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak terlibat korupsi pada Pilkada serentak 2020.

"Pilihlah calon kepala daerah yang berintegritas, tidak terlibat korupsi," kata Febri.

Febri mengimbau pemilih untuk lebih teliti dalam menggunakan hak suaranya.

Baca Juga: Investasi Bodong Kampung Kurma Group Masih Diusut Penyidik, Polisi Belum Tetapkan Tersangka

"Pilih calon kepala daerah yang tidak permah mengiming-imingi politik uang," kata Febri.

Di tengah korupsi kepala daerah yang marak, kata dia pilkada serentak saat ini akan cukup menentukan bagi nasib masyarakat di daerah.

Dari data di situs resmi KPK, per 1 Juni 2020 terdapat 21 Gubernur dan 122 bupati, wali kota dan wakil kepala daerah yang terjerat korupsi oleh KPK.

"Kita semua tentu berharap agar masyarakat tidak menjadi korban kembali jika ada calon kepala daerah bermasalah atau diduga terlibat dalam kasus korupsi,” kata Febri.

Baca Juga: Soal Edukasi, Akademisi Ingatkan Bahwa Orang Tua Penting untuk Rutin Ajak Anak Berdialog

“Karena itu, sangat penting bagi masyarakat sebagai pemilih untuk menentukan nasibnya lima tahun ke depan," tambahnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, berpendapat pilkada merupakan bagian dari koreksi penyelenggaraan pemerintahan, termasuk upaya pemberantasan korupsi.

Pilkada serentak 2020 masih menyisakan permasalahan serius dalam konteks pemberantasan korupsi lantaran masih ada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tersandera kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Upaya pencegahan korupsi yang berlangsung tidak sebentar menyebabkan politisi yang tersandera kasus korupsi maupun gratifikasi dapat mencalonkan diri.

Baca Juga: Soal Edukasi, Akademisi Ingatkan Bahwa Orang Tua Penting untuk Rutin Ajak Anak Berdialog

Penyebab lainnya yakni format hukum yang mewajibkan lembaga penyelenggara pemilu wajib menghormati proses hukum terhadap politisi yang tersandera kasus di KPK sebelum dijatuhi vonis bersalah oleh pengadilan.

Artinya, regulasi tidak melarang orang-orang yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi dan gratifikasi mencalonkan diri, meskipun penyelenggara pemilu memiliki semangat yang sama dengan rakyat untuk melahirkan pemimpin yang bersih, dan dapat membangun daerah yang dipimpin.

Selain itu, kata dia kehadiran politisi yang tersandera kasus hukum di KPK sebagai peserta pilkada sebagai gambaran kegagalan partai politik dalam menyaring secara jernih bakal calon kepala daerah sebelum didaftarkan di KPU.

Baca Juga: Satgas Covid-19 Bali Gandeng 1.000 Relawan untuk Antisipasi Klaster Baru di Pilkada Serentak 2020

Partai politik masih memainkan peran sebagai partai pengusung atau pendukung hanya dengan mempertimbangkan kemenangan dan kekalahan.

"Ini kami istilahkan sebagai tirani ilegal. Kita tahu (kondisi) ini tidak benar, tetapi secara legal harus diikuti,” Kata Kaka.

“Artinya kita tersandera dalam format hukum, dan pilihan partai politik yang tidak melalui proses yang jenih," tambahnya.***

Editor: Rahmi Nurlatifah

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler