Lebanon dan Israel Bahas soal Perbatasan Laut

- 14 Oktober 2020, 17:03 WIB
Foto Piramida Giza, Mesir yang disoroti cahaya dengan bentuk bendera Lebanon.
Foto Piramida Giza, Mesir yang disoroti cahaya dengan bentuk bendera Lebanon. /Twitter/mahaassar

PR TASIKMALAYA – Lebanon dan Israel akan memulai pembicaraan tidak langsung atas sengketa perbatasan maritim mereka, dengan para pejabat AS sebagai penengah.

Kedua belah pihak bersikeras bahwa pembicaraan itu murni soal teknis dan bukan tanda normalisasi hubungan.

Pembicaraan itu akan diadakan di markas pasukan penjaga perdamaian PBB UNIFIL di kota perbatasan Lebanon Naqoura, Rabu, 14 Oktober 2020.

Baca Juga: Pengembangan Obat Modern Asli Indonesia Jadi Fokus Kemenperin

Pembicaraan terjadi dengan latar belakang krisis ekonomi yang meningkat di Lebanon yang terburuk dalam sejarah modernnya.

Selain itu, menyusul gelombang sanksi AS yang baru-baru ini mencakup dua mantan menteri kabinet berpengaruh yang bersekutu dengan kelompok bersenjata Hizbullah.

Israel, AS, serta beberapa negara Barat dan Arab lainnya menganggap Hizbullah sekutu Iran sebagai organisasi teroris.

Baca Juga: Kurangi Jumlah Pengangguran, Kemenperin Laksanakan Diklat 3 in 1

Israel mengatakan bahwa akan ada negosiasi langsung, sesuatu yang dibantah oleh pejabat Lebanon. Diharapkan kedua delegasi akan duduk di aula yang sama.

Israel mengirimkan enam orang, termasuk direktur jenderal kementerian energinya, penasihat kebijakan luar negeri Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dan kepala divisi strategis militer.

Sedangkan lebanon mengirimkan empat orang, terdiri dari dua perwira militer, seorang pejabat perminyakan Lebanon dan seorang ahli hukum perbatasan laut.

Baca Juga: Hizbullah dan Amal Kritik Tim Negosiasi Lebanon dengan Israel

Pada Senin 12 Oktober 2020, harian pro-Hizbullah Al-Akhbar menyebut pembicaraan itu sebagai kelemahan Lebanon.

“Momen kelemahan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Lebanon," menurut harian tersebut, dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari Aljazeera.

Bahkan harian Al-Akhbar menyatakan bahwa Israel adalah penerima manfaat yang sebenarnya.

Baca Juga: Mahasiswa Tiongkok Tertarik Pelajari Bahasa Sunda dan Jawa

Pembicaraan itu dilakukan beberapa minggu setelah Bahrain dan Uni Emirat Arab menjadi negara Arab pertama yang menjalin hubungan dengan Israel sejak Mesir melakukannya pada 1979 dan Yordania pada 1994.

Israel dan Lebanon tidak memiliki hubungan diplomatik dan secara teknis berada dalam keadaan perang.

Mereka masing-masing mengklaim sekitar 860 kilometer persegi (330 mil persegi) Laut Mediterania berada dalam zona ekonomi eksklusif mereka sendiri.

Baca Juga: Ridwan Kamil Bangga, Jawa Barat Sumbang Sepertiga Ekspor Industri Kreatif Nasional

"Pembicaraan kali ini akan lebih sengit dari yang mereka harapkan, karena kami tidak akan rugi," Kata Menteri Luar Negeri Lebanon, Charbel Wehbi.

Dia menambahkan bahwa jika ekonomi Lebanon runtuh tidak ada kepentingan untuk membuat konsesi.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: Aljazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah