Massa Aksi di Solomon Ricuh Tuntut Pengunduran Diri Perdana Menteri Mannaseh Sogavare

- 26 November 2021, 19:25 WIB
Kepulan asap terlihat berasal dari toko yang terbakar di Honiara, Kepulauan Solomon, 24 November 2021.
Kepulan asap terlihat berasal dari toko yang terbakar di Honiara, Kepulauan Solomon, 24 November 2021. /Georgina Kekea via Reuters

PR TASIKMALAYA - Aksi demonstrasi berakhir ricuh di Kota Honiara, Kepulauan Solomon pada Rabu sore, 24 November 2021.

Massa menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Mannaseh Sogavare.

Diketahui, aksi itu dipicu oleh perselisihan antara pemerintah pusat dan Provinsi Malaita yang menolak mengakui hubungan dengan negara China.

Sekitar seribu orang mengepung dan melempari gedung parlemen ketika politisi sedang bersidang.

Baca Juga: Sempat Berdebat, Dedi Mulyadi Kini Bantu Biaya Kuliah Yudha Dawami Mahasiswa yang Menegurnya Ketika di Pasar

Dilihat PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari YouTube 9 News Australia, massa juga dilaporkan membakar sejumlah bangunan.

Bahkan, massa juga melakukan penjarahan dan merusak toko di kawasan Pecinaan Kokta Honiara.

Juanita Matanga, juru bicara Kepolisian Kepulauan Solomon menyatakan massa telah menghancurkan banyak bangunan di Honiara, termasuk Kantor Polisi.

Asap mengepul dari gedung-gedung yang terbakar selama protes di Ibu Kota Honiara, Kepulauan Slomon itu.

Baca Juga: Profil RRQ Lemon, Raup Miliaran dari Mobile Legends, Diundang ke Podcast Deddy Corbuzier

Massa dilaporkan melakukan aksi pembakaran ke objek vital negara di pafsifik tersebut.

Langkah ini sempat dihalau oleh petugas kepolisian yang menembakan peluru karet.

Akibat insiden ini, Sogavare mengambil langkah untuk melakukan penguncian nasional selama 36 jam kedepan.

Ini untuk meminimalisir potensi mobilisasi massa lanjutan yang mengancam keamanan.

Baca Juga: Pria yang Selundupkan Film Squid Game di Korea Utara Dieksekusi Mati, Sementara Lainnya Diintrograsi

Kerusuhan ini sendiri terjadi dari konflik China dan Taiwan.

Pada 2019 lalu, Pemerintah Salomon secara resmi menghentikan pengakuannya terhadap Taipei dan mulai pindah ke Beijing.

Langkah ini ditentang keras oleh warga di wilayah Malaita, yang merupakan wilayah asal pengunjuk rasa.

Pemimpin daerah Malaita, Daniel Suidani, sebelumnya berjanji akan membuat wilayahnya tidak terlibat dengan Beijing dan akan menutup akses bagi etnis Tionghoa di sekitar Malaita.***

Editor: Al Makruf Yoga Pratama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah