Dukung Atlet Indonesia Jelang Olimpiade Tokyo dengan Kisahnya, Susy Susanti: Dulu Tidak Ada yang Mau Tukeran Pin dengan Indonesia

16 Februari 2020, 14:33 WIB
Susy Susanti.* /ANTARA/

 

PIKIRAN RAKYAT – Susy Susanti sebagai manajer tim Indonesia berusaha memberikan suntikan semangat untuk para atlet yang tinggal menghitung bulan menghadapi kejuaraan bergengsi dunia Olimpiade Tokyo 2020.

Suntikan semangat yang diberikan pebulu tangkis kelahiran Tasikmalaya ini diharapkan dapat memantik daya juang yang lebih meningkat lagi dalam diri masing-masing atlet.

Dikutip Pikiranrakyat-Tasikmalaya.com melalui situs Badminton Indonesia bahwa pebulu tangkis putri pertama peraih medali emas Olimpiade yang kini menjadi manajer tim Indonesia ingin mengisahkan kembali masa jayanya yang diharapkan dapat dijadikan suntikan semangat bagi para atlet yang sebentar lagi menghadapi Olimpiade Tokyo 2020.

Baca Juga: Hadiri Jakarta Internasional BMX, Menpora Zainudin Amali: Target Akhir Kita adalah Olimpiade

Susy Susanti mulai menatap puncak karirnya saat ia berlaga dalam final Olimpiade Barcelona 1992.

Kala itu, Susy sukses mengalahkan Bang Soo Hyun yang merupakan atlet kebanggan Korea Selatan dengan skor 5-11, 11-5, 11-3.

Perempuan yang dilahirkan hampir setengah abad yang lalu ini resmi menempatkan namanya sebagai atlet pertama Indonesia yang meraih medali emas di kancah Olimpiade.

Sebelum meraih kemenangan, Susy sempat kalah dalam game pertama. Bahkan ia mengakui seperti dikontrol alur permainan oleh Soo Hyun, meski Susy unggul jauh secara catatan rekor pertemuan.

Memasuki game kedua, Susy berpikir keras sendiri tentang hal yang mesti ia lakukan untuk mengalahkan Soo Hyun. Pada waktu itu, pemain memang tidak boleh didampingi pelatih saat bertanding.

Baca Juga: Bukan Hanya Malam Tadi dan Selasa Depan, Asteroid 2002 PZ39 Berdiameter 10 Kilometer akan Lintasi Bumi pada 2030

"Jangankan mendampingi, kalau teriak saja dari bangku penonton, bisa disuruh keluar stadion. Jadi benar-benar harus berpikir sendiri. Lalu saya coba, dan akhirnya bisa ke game ketiga.

"Dari sini saya mulai yakin, saya lebih unggul fisiknya, dia nggak pernah menang lawan saya kalau rubber game. Ibaratnya saya ini mesin diesel, makin lama, makin panas," tutur Susy mengenang kembali dirinya yang dulu lebih unggul secara fisik.

Usai memenangkan emas pertama untuk Indonesia, Susy tidak merasakan haru atau bangga. Ia justru merasa bebannya selama enam tahun persiapan menuju olimpiade telah lenyap tanpa sisa.

"Saya kalau juara nggak pernah selebrasi, rasanya di olimpiade itu pertama kalinya saya juara langsung teriak. Rasanya beban saya, tanggungjawab saya, lepas semua. Bayangkan pressure-nya, semua orang yang ketemu saya sebelum olimpiade selalu bilang, Susy harus juara, ya!" tuturnya.

Terlebih, saat ia menaiki podium juara dan mendengarkan lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan, semakinlah ia merasa haru dan bangga karena bisa mempersembahkan emas untuk negeri dengan kibaran bendera Indonesia. Sekaligus untuk memperkenalkan nama Indonesia di kancah dunia.

Baca Juga: Hadiri Jakarta Internasional BMX, Menpora Zainudin Amali: Target Akhir Kita adalah Olimpiade

Ia mengatakan kemenangan dalam olimpiade tersebut berbeda dngan kejuaraan lain, ia menyebut prestasinya kala itu serasa diakui dunia.  

"Saya ingat waktu sebelum juara, di athelete village kan banyak yang koleksi pin antar negara, tapi nggak ada yang mau tukeran pin Indonesia sama saya," cerita Susy.

Saat itu, Indonesia hanyalah nama yang asing untuk atlet internasional. Indonesia justru disangka bagian dari Bali, padahal yang seharusnya hanya bagian pulau di Indonesia.

Begitu Susy dan Alan (Budikusuma) mendapatkan emas dan Indonesia berada di urutan 21 daftar raihan medali, tanpa diminta, mereka mendatangi terlebih dahulu dan ingin bertukar pin Indonesia.

Pun begitu, diakui Susy bahwa memenangkan medali emas olimpiade tidak semudah memenangkan gelar di kejuaraan lain. Sejak babak pertama, pemain akan merasakan aura yang berbeda di olimpiade. Bahkan banyak hal aneh juga terjadi di olimpiade.

Baca Juga: Hadiri Pertandingan One Pride MMA, Menpora Zainudin Amali Harapkan Kemajuan Olahraga Seni Bela Diri

Apabila diingat kembali, malam sebelum final adalah yang paling berat dirasakan Susy. Bahkan  ia tak bisa tidur dan tak bisa makan. Hanya satu di pikirannya saat itu,  ia ingin laga final cepat berlalu, sehingga dapat dibayangkan begitu besarnya beban dan tekanan yang  dirasakannya dulu.

"Perasaan malam itu mata saya sudah dipejamkan, tapi tetap nggak bisa tidur, otaknya mikir terus. Makan pun dipaksa demi jaga kondisi, padahal nggak nafsu makan sama sekali. Akhirnya malam itu saya cuma makan nasi pakai abon dan ikan asin, sama minum segelas susu.

"Mau tidur pun sampai bolak-balik, ke kamar, lalu ke luar lagi, begitu terus sampai tengah malam. Ketegangan ini harus diatasi, jangan sampai merugikan kita, harus bisa diatur," lanjutnya.

Sampai tiba detik-detik sebelum bertanding, Susy meminta agar dirinya tidak diganggu, karena gangguan ingin bertemu sebelum tanding hanya akan  mengganggu persiapan serta konsentrasi atlet.

Ia mengakui bahwa setiap atlet memiliki kebiasaan yang  berbeda sebelum bertanding, yakni ada yang mendengarkan musik, menyendiri, hingga berdoa. 

Baca Juga: Ajak Alumni FH UNSOED Reuni Sambil Bernostalgia, Sekjen MPR RI: Kita Jalin Kerjasama untuk Mengabdikan Diri pada Bangsa

"Kalau banyak ketemu orang, ada saja yang bilang, harus juara ya, harus dapat emas ya. Tiap pesan itu diterimanya beda sama tiap atlet, saya pernah mengalami ini jadi saya tahu rasanya. Makanya sekarang, ini yang saya lakukan sama atlet, lebih dijaga sebelum masuk lapangan," ucap Susy.

Kesuksesannya meraih emas di Barcelona, tak membuat padam semangat Susy. Bahkan, ia tetap punya misi ingin mengulang sukses di olimpiade.

Di Olimpiade Atlanta 1996, Susy meraih medali perunggu. Susy memang tipikal orang yang tak pernah cepat puas dengan hal yang sudah diraih, sehingga ia selalu punya keinginan dan target melebihi prestasi yang telah diraihnya.

"Kalau sudah pernah dapat emas olimpiade satu kali, saya tetap mau lagi. Kalau bisa dua kali kenapa tidak? Semangat ini yang bikin saya bertahan dan lolos lagi ke olimpiade empat tahun kemudian.

Baca Juga: Keluarkan Perintah untuk Evakuasi, Amerika Ditentang Warganya di Kapal Pesiar Diamond Princess Saat Masih Jalani Karantina

"Waktu tahu Li Lingwei punya rekor menang World Cup terbanyak yaitu empat kali. Saya mau juga rekor begitu, lalu saya lewati rekornya dan juara World Cup lima kali," ujar Susy.

Pada akhirnya, Susy berharap kisahnya dapat menjadi motivasi dan suntikan semangat bagi para pebulutangkis yang akan berlaga di Olimpiade Tokyo 2020.

Salah satu yang jadi bekal utama adalah kesiapan mental, karena dalam ajang empat tahunan tersebut, atlet tak hanya berhadapan dengan lawan, tapi juga harus bisa mengalahkan situasi dan diri sendiri.***

Editor: Rahmi Nurlatifah

Sumber: Badminton Indonesia

Tags

Terkini

Terpopuler