Soal Kekerasan Pasca Proklamasi, Pakar Soroti Diksi 'Bersiap' Timbulkan Polemik, Ini Sebabnya

- 4 Februari 2022, 17:22 WIB
Diksi 'Bersiap' menurut pakar yakni bernama Ariel Heryanto menimbulkan polemik terkait kekerasan pasca proklamasi.
Diksi 'Bersiap' menurut pakar yakni bernama Ariel Heryanto menimbulkan polemik terkait kekerasan pasca proklamasi. /Pixabay/Mohamed_hasan

PR TASIKMALAYA - Baru-baru ini, professor emeritus bernama Ariel Heryanto, mengungkapkan publik Indonesia menengok kembali kekerasan pasca proklamasi pada 1945.

Dirinya mengungkapkan soal kekerasan ini, gara-gara seorang sarjana Indonesia dilaporkan polisi di Belanda saat itu yang jarang dibahas.

Kontroversi diksi 'bersiap' menurutnya dipicu oleh sebuah tulisan di Belanda dengan judul provokatif 'Hapus Istilah Bersiap, karena Rasis'.

Ia mengungkapkan bahwa penulisnya bernama Bonnie Triyana, satu dari empat kurator sebuah pameran tentang Revolusi Indonesia di Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda.

Baca Juga: Totalitas, Atta Halilintar Nyebur ke Kali hingga Hidup di Kampung Demi ‘Ashiap Man’

"Di alinea kedua tertulis tim kurator pameran telah memutuskan tidak akan menggunakan istilah bersiap," kata pakar itu yang dikutip oleh PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari laman The Conversation, pada Jumat, 4 Februari 2022.

Kemudian, dirinya mengatakan untuk memahami duduk persoalan ini secara jernih, kita perlu bebas dari perangkap dikotomi Belanda dan Indonesia.

Hal ini yang berpuluh tahun menjerat diskusi publik tentang kolonialisme Hindia Belanda.

Baca Juga: Viral, Wanita Ini Ungkap Hasil Covid-19 Positif, Padahal Belum Lakukan Tes PCR dan Antigen

Menurutnya, diksi 'bersiap' sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan “antikolonial” pasca proklamasi.

Hal itu oleh warga terjajah terhadap orang Belanda atau warga lain yang dianggap sekutunya.

"Sejumlah kesaksian, misalnya jurnalis Indonesia Kwee Thiam Tjing dalam bukunya Indonesia dalem Api dan Bara," tulisnya.

Baca Juga: Tes Kepribadian: Lihat Kucing atau Tikus? Pilihan Gambar Anda Ungkap Karakter Pasangan yang Dicari

"Juga beberapa saksi mata yang berkisah secara lisan kepada saya memberikan gambaran lebih luas," tambahnya.

Lebih lanjut, terkait pelaku, korban dan motivasinya beraneka macam.

Menurutnya, ada faktor politik, ada dendam rasial, ada kekerasan seksual, ada berbagai penjarahan harta tanpa muatan politik atau rasisme tapi kelas sosial.

Baca Juga: Hoaks atau Fakta: Viral, Presiden Jokowi Rayakan Imlek Tanpa Prokes?

Di sisi lain, banyak pihak meyakini keturunan Indo (Eropa-Indonesia) menjadi korban utama, walau ada kemungkinan korban orang Indonesia justru lebih besar.

Dirinya menuturkan bahwa Bonnie menolak istilah “Bersiap” karena menurutnya istilah itu selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab.

"Selalu? Beberapa orang heran dengan tuduhan itu," tuturnya.

Baca Juga: Sindir Gubernur Jakarta, Giring Ganesha Tanggapi Netizen yang Ingatkan PSI: Jangan Ganggu Pak Anies

"Sayang, Bonnie tidak memberikan satu pun contoh atas tuduhan berat ini," tegasnya.

Kemudian, dirinya menceritakan barisan serdadu Hindia Belanda di jalan utama kota Melbourne 17 April 1943.

Hal ini ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, pemerintahan Hindia Belanda melanjutkan kerja dalam pengasingan di Australia.

Baca Juga: Bintang Emon Lamaran, Komentar Kiky Saputri Langsung Disorot Netizen Gegara Hal Ini

Pasalnya, baginya kontroversi diksi 'bersiap' meledak, bukan semata-mata karena sebuah artikel opini atau pameran tahun ini.

Menurutnya, sumber masalahnya karena sudah beberapa dekade peristiwa itu tak masuk dalam wacana resmi sejarah nasional di Belanda maupun di Indonesia.

"Ia hanya dibahas dengan pedih oleh beberapa warga pinggiran yang tersebar di berbagai kawasan dunia," terangnya.

Baca Juga: 10 Kutipan Romantis Hari Valentine, Cocok Ditulis di Kartu Ucapan untuk Sang Kekasih!

"Baru belakangan bertambah kaum muda yang mulai tahu," ujarnya.

Lebih lanjut, hal yang menonjol dalam debat mutakhir adalah dikotomi Indonesia lawan Belanda, hingga kini.

Hal itu seakan-akan ada dua kubu yang secara mutlak bertolak belakang, masing-masing seragam bersatu-padu dikubunya.

Baca Juga: Hana Hanifah Jual Senjata Api, Luna Maya: Jangan Sampe Kena Masalah

"Untung, tidak semua warga di Belanda maupun Indonesia termakan pandangan hitam-putih demikian," ungkapnya.

"Namun seperti biasa, suara yang paling ekstrem dalam sebuah kontroversi terdengar paling nyaring di ruang publik," pungkasnya.***

Editor: Ghassan Faikar Dedi

Sumber: The Conversation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah