Dia menjelaskan, kesalahan bukan terletak pada undang-undang, namun pada manusia yang menginterpretasikannya secara berbeda.
“UU bukan kitab suci, UU bisa disempurnakan, direvisi dan diubah. Kitab suci, sakral apa adanya. Tapi manusia bisa menginterpretasi keduanya secara berbeda beda,” kata Henry Subiakto.
Tak hanya itu, dalam cuitannya Henry Subiakto juga mengungkit soal tuduhan dan berita yang beredar terkait dirinya yang disebut-sebut menyamakan UU dengan kitab suci, padahal pada kenyataannya hal tersebut disampaikannya hanya sebagai sebuah analogi.
Atas hal tersebut, Henry Subiakto lantas menyebut bahwa hal itu merupakan tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki mental tempe dan tidak memiliki etika.
“Dalam sebuah diskusi. Saya bilang: “Kitab suci saja bisa diinterpretasi macam-macam, apalagi UU.” Terus muncul berita plintiran, Henri Subiakto menyamakan UU dengan kitab suci. Mereka wawancara saya juga tidak tiba-tiba bikin berita plintiran. Itulah mental Tempe tanpa etika,” sambungnya.
Sehingga selanjutnya, Henry Subiakto juga menyebut bahwa dari sekian banyak pengguna internet aktif di Indonesia, sensitifitas dan kericuhan di media sosial justru terus meningkat.
Sehingga Henry Subiakto mempertanyakan soal tindakan yang sebaiknya dilakukan apakah memperlonggar aturan atau justru sebaliknya.
“Dari 196,7 juta pengguna internet aktif di Indonesia, tiap saat banyak yang buat pesan untuk nyerang orang, menyalahkan, mempermalukan, bully, fitnah, hoax, adu domba & menghina pemimpin negara. Itu tak hanya ribut & bising tapi jg jahat. Lalu UU ITE apa hrs diperlonggar atau sebaliknya?” papar Henry Subiakto.