Picu Pro dan Kontra, Pengunjuk Rasa Anti Rasisme di Inggris Robohkan Patung Pedagang Budak

- 9 Juni 2020, 08:55 WIB
EDWARD Colston adalah pedagang budak yang patungnya di Bristol, digulingkan selama protes Black Lives Matters di Inggris.*
EDWARD Colston adalah pedagang budak yang patungnya di Bristol, digulingkan selama protes Black Lives Matters di Inggris.* /The Guardian/

PR TASIKMALAYA - Massa yang memprotes rasisme di Inggris merobohkan patung seorang pedagang budak pada abad ke-17, Edward Colston, di Kota Bristol, Minggu, 7 Juni 2020.

Aksi itu dilakukan di tengah desakan publik yang meminta monumen pedagang budak lainnya di Inggris dirobohkan.

Robohnya patung Colston memicu perdebatan antara warga Inggris. Banyak yang mempertanyakan apakah aksi menjatuhkan patung itu merupakan perbuatan merusak atau momen bersejarah yang dapat menarik perhatian masyarakat terhadap peran Inggris pada era jual beli budak.

Baca Juga: Diduga Jadi Tempat Transaksi Narkoba, Sebuah Vila Mewah di Kota Tasikmalaya Digerebek Polisi

Dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari Reuters, Anggota Partai Buruh, Andrew Adonis mengatakan Inggris 'terlalu lambat' merobohkan patung para pedagang budak dan 'penjahat imperialis' lainnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sajid Javid dari Partai Konservatif mengatakan aksi massa itu merupakan perbuatan melawan hukum.

"Saya tumbuh besar di Bristol. Saya benci mengetahui Edward Colston mencari untung dari jual beli budak. Namun, aksi INI TIDAK BENAR," kata Javis lewat pernyataan tertulisnya.

Baca Juga: Kasus Covid-19 di Kabupaten Tasikmalaya Mulai Landai, Kewaspadaan Jangan Diabaikan

Ia menambahkan bahwa jika warga Bristol ingin merobohkan sebuah monumen, caranya harus demokratis. Bukan dengan aksi merusak yang melawan hukum.

Rekaman video yang tersebar di media sosial menunjukkan massa aksi 'Black Lives Matter' bersorak saat mereka merobohkan patung Colston dan mendorongnya ke sungai saat berunjuk rasa pada akhir pekan.

Warga Inggris di beberapa kota, seperti London, Manchester, Glasgow, dan Edinburgh, turun ke jalan pada Minggu memprotes rasisme dan aksi brutal kepolisian yang membuat George Floyd seorang warga Afrika-Amerika meninggal.

Baca Juga: Sosialisasikan AKB, Petugas Lakukan Patroli dan Bubarkan Kerumunan di Pantai Karang Tawulan

Colston yang lahir di Bristol pada 1636, merupakan seorang pedagang dan anggota parlemen, yang kekayaannya diperoleh dari penjualan sekitar 80.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak dari Afrika dan wilayah Karibia ke Amerika. Banyak dari mereka mati dalam perjalanan.

Patung Colston, terbuat dari tembaga, didirikan pada 1895. Monumen itu jadi pusat protes masyarakat pada masa lalu dan ada petisi yang mendesak patung itu segera dirobohkan.

Petisi tersebut sejauh ini telah ditandatangani lebih dari 11.000 orang.

Baca Juga: Pasca Dua Bulan Ditutup, Lokasi Wisata di Tasikmalaya Mulai Dibuka dengan Syarat

"Sebagai warga Bristol, nama Edward Colston dapat ditemukan di banyak tempat. Kota ini melukis wajahnya di tiap tembok bangunan. Ini waktunya untuk berubah," kata seorang aktor serial televisi 'Game of Thrones', Miltos Yerolemou, lewat unggahannya di Twitter.

Ia kemudian menambahkan bahwa ini adalah langkah pertama dari banyak hal yang harus diubah.

"Hari ini adalah hari yang baik," ujarnya.

Baca Juga: Hasil Swab Test Massal di Kampung Buninagara Tasikmalaya Negatif Covid-19, Mikro Karantina Dibuka

Massa di beberapa negara kota Eropa pada Minggu berunjuk rasa sebagai wujud solidaritas kepada warga AS yang memprotes aksi brutal kepolisian. Unjuk rasa di Eropa berlangsung di Roma, Copenhagen, Budapest, Madrid, serta beberapa kota di Inggris.

Dalam aksi massa di Inggris, salah satu poster berisi tulisan "Inggris juga bersalah".

Unjuk rasa di Inggris menghidupkan kembali perdebatan mengenai peran Inggris dalam jual beli budak. Otoritas di sejumlah kota telah berencana merobohkan sejumlah monumen penjual budak dan mengedukasi masyarakat mengenai sejarah Inggris.

Baca Juga: Datang ke Houston, Joe Biden Berencana Adakan Pertemuan Pribadi dengan Keluarga George Floyd

Kota Glasgow di Skotlandia berencana mengubah nama beberapa jalan yang menggunakan nama para pedagang budak, termasuk di antaranya Buchanan Street, Ingram Street, dan Virginia Street.

Sejumlah aktivis minggu lalu memasang pelat hitam untuk menamakan kembali jalanan. Para aktivis menggunakan nama-nama tokoh gerakan kulit hitam, salah satunya Rosa Parks, yang menolak memberikan kursi kepada seorang penumpang bus berkulit putih.

Nama lainnya, Sheku Bayoh, seorang warga kulit hitam yang tewas di tahanan kepolisian Kota Fife, Skotlandia, lima tahun lalu.***

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: REUTERS


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah