CIPS: Nasib Tawar Petani Masih Lemah di Hari Tani Nasional

- 24 September 2020, 13:43 WIB
Ilustrasi: tampak seorang petani mengangkut benih padi siap tanam/
Ilustrasi: tampak seorang petani mengangkut benih padi siap tanam/ /pixabay/sasint

PR TASIKMALAYA – Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September, namun dikabarkan nasib tawar petani cukup lemah.

Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menyebut, peran petani dalam rantai pasok beras sebagai pemasok utama komoditas tersebut perlu ditingkatkan.

CIPS menyatakan, posisi petani sebagai pihak yang menjual dan memasarkan beras seharusnya bisa menguntungkan dan lebih memilih posisi tawar yang menguntungkan.

Baca Juga: Gatot Nurmantyo Lempar Isu PKI, KSP: Biasa Menjelang 30 September

“Posisi petani di dalam rantai pasok tidak menguntungkan, padahal petani adalah penghasil komoditas. Dengan panjangnya rantai pasok distribusi beras hingga ke konsumen.

Sudah sepatutnya petani mendapatkan posisi yang lebih baik dan mendapatkan keuntungan dari harga jual beras di tingkat konsumen,” ujarnya dikutip dari Antara.

Kenyataanya, rantai pasok beras memang panjang dan seringkali posisi petani tidak diuntungkan. Petani tidak memiliki kuasa untuk harga Gabah Kering Panen (GKP), dan Gabah Kering Giling (GKG).

Baca Juga: Makin Digandrungi, Pemerintah Diminta Tarik Investasi dari TikTok dan Zoom

Selain itu, petani juga tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi. Hal ini disebabkan karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung dengan pasar.

Oleh karena itu, petani hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker.

Sebelum sampai ditangan konsumen, beras lokal dari petani setidaknya harus melalui empat hingga enam pelaku distribusi.

Baca Juga: Bosan dengan Tubuh Gemuk? Berikut Tips Sarapan Ideal Menurut Ahli Nutrisi

Rantai distribusi beras lokal, justru di dalamnya keuntungan terbesar dinikmati oleh para tengkulak, pemilik penggilingan padi, atau pedagang grosir.

Hizkia Respatiadi dalam penelitiannya mencontohkan, di Pulau Jawa keuntungan berkisar 60-80 persen per kilogram. Sebaliknya, keuntungan yang didapat pedagang eceran hanya berkisar 1,8-9 persen per kilogram.

Selain rantai distribusi yang panjang, penyebab harga pangan di Indonesia lebih mahal karena ongkos produksi.

Baca Juga: Hoaks Elvy Sukaesih Meninggal Dunia, sang Anak: Astagfirullah, Alhamdulillah Umi Sehat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rice Research Institute (IRRI), tahun 2016 ongkos produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dibandingkan dengan Vietnam, dan 2 kali lebih mahal dibandingkan dengan Thailand.

Rata-rata biaya produksi satu kilogram beras di Indonesia adalah Rp4.079, hampir 2,5 kali lipat biaya produksi di Vietnam (Rp1.679).

Sementara biaya produksi di Thailand Rp2.291, dan India Rp2.306. Biaya produksi beras di Indonesia juga lebih mahal 1,5 kali dibandingkan dengan biaya produksi di Filipina Rp3.224, dan Tiongkok Rp3.661.

Baca Juga: Mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Diganjar Penjara Seumur Hidup

Berdasarkan data BPS, kesejahteraan petani terbilang masih jauh dari harapan. Tahun 2018, terdapat total 27,2 juta rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan.

Berdasarkan jumlah total tersebut, sekitar 15,8 juta tergolong rumah tangga petani gurem atau rumah tangga pertanian dengan lahan kurang dari 0,50 hektare.

“Pandemi Covid-19 menyebabkan hasil panen belum terserap secara maksimal di pasaran. Tidak terserap dengan baiknya komoditas pangan hasil panen, disebabkan karena berkurangnya pendapatan masyarakat ataupun karena adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan oleh pemerintah,” ujar Galuh.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x