Menerka Peluang IPO Unicorn di Tengah Wabah Covid-19

- 23 September 2020, 10:36 WIB
ILUSTRASI startup.*/net
ILUSTRASI startup.*/net /

PR TASIKMALAYA - Ketika nyaris semua sektor bisnis mati suri akibat hantaman wabah virus corona, industri startup diharapkan kuat melawan virus asal Wuhan itu.

Justru, wabah ini menjadi pendorong rancangan bisnis perusahaan rintisan agar semakin berkembang.

"Karena pola hidup masyarakat berubah, aktivitas masyarakat pun saat ini serba digital. Hal ini membuat industri startup yang seharusnya terjadi dua tahun lagi menjadi lebih cepat," tutur salah satu Dewan Komisaris Gojek, Pandu Patria Sjahrir.

Baca Juga: Masih Bingung? Berikut Cara Membuat Rekening BNI untuk Prakerja

Berkebalikan dengan Pandu, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi memiliki gagasan bahwa wabah corona ini membuat para startup, terutama yang masih kecil, semakin goyah.

Bahkan banyak dari mereka yang memilih untuk memotong jumlah karyawan supaya bisa bertahan.

"Banyak perusahaan startup yang sebelum pandemi saja sudah terhuyung-huyung. Jadi, untuk bertahan ini agak berat karena persaingan yang tajam, kompetitornya juga mungkin punya modal yang lebih kuat. Di sisi lain juga masih banyak yang bakar uang," Heru Sutadi menjelaskan kepada redaksi Warta Ekonomi melalui saluran telepon pada hari Minggu, 20 September 2020.

Baca Juga: ASEAN Bekerja Sama dengan Korea Selatan dan Meluncurkan Sertifikat Penanganan Bencana

Heru tidak menyangkal bahwa terdapat sejumlah perusahaaan rintisan yang malah mendapatkan berkah di tengah bencana kesehatan seperti ini.

"Memang ada beberapa startup bahkan unicorn yang mungkin di era pandemi ini kinclong, misal e-commerce. Artinya, memang orang membutuhkan layanan tersebut." Kata Heru.

Akan tetapi, terkait masalah IPO (Initial Public Offering) unicorn, Heru tidak menganjurkan begitu saja pelaksanaan agenda itu sekarang, di sela-sela kondisi wabah.

Baca Juga: Pahami Gaya Hidup Ramah Lingkungan! Tasya Kamila Bagikan Kiat ‘Sustainable Lifestyle’ untuk Milenial

Hal ini dikarenakan investasi yang memikat semasa pandemi adalah instrumen-instrumen pemerintah seperti ORI, surat utang negara, atau yang memiliki kepastian ke depannya. Terlebih lagi, kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir.

"Iya, (IPO) memang berat karena betapapun masyarakat bingung memilih unicorn yang akan bertahan ke depannya. Mungkin kalau kesehatan, masih ada harapan.

"Orang investasi kan enggak bisa setahun-dua tahun, tapi mungkin lima tahun ke depan seperti apa (prospeknya)," Heru menerangkan.

Baca Juga: Siap-Siap! Mnet Asian Music Award 2020 Akan Digelar secara Virtual 6 Desemeber Mendatang

Heru pun menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan IPO dapat dilakukan oleh unicorn yang memiliki prestasi seperti e-commerce.

Namun, hal itu bergantung dalam daya beli investor. Bila targetnya bursa luar negeri, kemungkinannya akan lebih besar, suku bunga tabungan yang nol bisa diperbesar dan mendorong orang memperuntukan uang ke investasi saham.

"E-commerce kan secara presentasi transaksi meningkat, nilai juga meningkat sehingga misalnya mereka IPO, ya mungkin sambutannya juga cukup bagus.

Baca Juga: Kembali Tunjukkan Sikap Tak Konsisten Soal Panduan Covid-19, CDC Dikritik Profesor Harvard

"Cuma ngincarnya seperti apa. Kalau mencoba incar investor luar, mungkin (IPO) iya karena sekarang ini misal di Eropa kalau simpan tabungan, suku bunga nol. Sudahlah investasi saja," Heru melanjutkan saat memaparkan kondisi sektor keuangan warga Eropa.

Dibanding peluasan untuk IPO, Heru lebih menganjurkan agar para startup ataupun unicorn bertahan hingga satu-dua tahun berikutnya sebab kondisi saat ini masih sangat menantang.

"Saya sepakat bahwa 2020-2021 ini adalah tahun untuk lebih bertahan dibanding untuk ekspansi," kata Heru.

Baca Juga: Tak Mencapai Target yang Ditetapkan, Sri Muyani Sebut Pendapatan Negara Menurun Dibanding Tahun Lalu

Sementara Pandu memacu startup, terutama unicorn Indonesia, agar yakin dapat melakukan IPO di bursa. Dalam perkembangan startup, ada potensi yang sangat luar biasa di Indonesia.

Pandu berkata, "dulu, mungkin dari 1% dari seluruh total offline e-commerce, mungkin sekarang baru naik 2%. Kalau di Tiongkok, sudah mencapai 15%, Amerika malah 20%. Jadi, menurut saya, perkembangan startup di Indonesia masih besar sekali."

Dia pun menggambarkan kemajuan saham salah satu startup e-commerce asal Singapura, Shopee. Selama lima bulan terakhir, harga sahamnya melambung tinggi.

Baca Juga: Perbaikan Ekonomi Mulai Terlihat pada Agustus, Sri Mulyani Sampaikan Harapan Soal Penerimaan Pajak

"Perusahaan startup seperti Shopee, pergerakan sahamnya luar biasa. Dari 30 dolar AS per saham awal tahun, sekarang sudah 150 dolar AS per saham di bursa saham Amerika. Itu refleksi apa yang terjadi di dunia, apalagi di Indonesia," Heru berujar.

Heru mengatakan, corak bisnis startup berbeda dengan perusahaan biasa sehingga ada sejumlah hal yang mesti dijadwalkan agar rencana IPO para unicorn bisa benar-benar berjalan mulus dan menarik banyak investor.

"Startup dan unicorn ini kan beda dengan perusahaan tradisional. Yang biasanya nanti dinilai asetnya apa yang riil. (Startup) ini kan (asetnya) enggak riil, walaupun enggak semuanya. Misal punya gedung, punya aset apa. Transportasi online, punya motor, punya mobil. Tapi semua aset itu kan ada di mitranya," jelasnya.

Baca Juga: Dianggap Gagal Tangani Virus Corona di Negaranya, Menkes Ceko Mengundurkan Diri dari Jabatan

Heru menerakan hal penting adalah startup mesti sanggup membuktikan kepada investor bahwa keuangannya ditata dengan standar akuntansi yang baik.

Lalu, bisnisnya punya prospek cerah di masa depan, dan terus meningkat; dari status startup biasa jadi unicornunicorn jadi decacorn, dan seterusnya.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: Warta Ekonomi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x