Pertama, penguasa mengesankan seolah-olah masalah dan ancaman terbesar bagi Indonesia adalah radikalisme, sehingga untuk de-radikalisasi, harus dilakukan apapun juga, termasuk 3-4 menteri yang khusus diangkat untuk de-radikalisasi, salah satunya Menteri Agama.
Sejak awal 2017, di Masjid Gede Kauman Jogja Felix sudah menyampaikan bahwa dia curiga program de-radikalisasi dari penguasa sebenarnya adalah de-islamisasi.
“Kenapa? Sebab semua program De-Radikalisasi ini hanya tertuju kaum Muslim, terutama yang disebut 'Barisan 212?' atau Muslim yang selama ini punya pandangan berbeda dengan mereka,” kata Felix di Instagram pribadinya.
Baca Juga: Sebut Ucapan Puan Tak Singgung Warga Sumbar, Pakar: Ada Pihak yang Menggiring ke Politik Identitas
Kedua, penguasa menjadikan radikalisme sebagai threat, ancaman, ketakutan, lalu menjual 'obat' dari radikalisme itu, seolah jadi pahlawan, padahal sangat sarat kepentingan.
Seperti, menuduh PTN radikal, membesar-besarkan di media, lalu mengganti rektor, menghapus pogram kaderisasi masjid, dan diberikan kepada siapapun pendukungnya, agar tak ada kritik.
Sambungnya, dalam kasus radikalis good-looking, ia menilai Menag jelas menawarkan solusi, agar pengurus masjid itu dari pemerintah, agar bisa kendalikan aktivitas masjid. Persis seperti di Tiongkok.
Baca Juga: 'Di Rumah Aja' Jadi Dugaan Alasan Reza Artamevia Pakai Narkoba, Pihak Polisi Masih Perdalam Motif
Ketiga, ia pun mempertanyakan apa indikasi radikalisme itu? Standarnya apa? sehingga dia dicap sebagai uztad radikal nomor 2 di Indonesia.
Terakhir, ia menyebut ada banyak yang lebiih penting yang harus ditangani oleh penguasa disampinvg mengusik orang-orang yang tak bersalah dengan paham radikalisme.