Baca Juga: Guru Besar dan Akademisi di Yogyakarta Dukung Penuh Ganjar Pranowo, Ini Alasannya
Oleh karenanya, bagi Harits praktik politik praktis mencapai kekuasaan tentu tidak akan memperdulikan status kekalahannya. Melainkan melihat potensi kemenangannya.
Sebagai contoh, pada 2014 lalu Joko Widodo (Jokowi) memiliki jumlah suara yang cukup tinggi. Pihaknya memimpin dan mengalahkan suara dari Capres lainnya, yakni Prabowo Subianto.
Oleh karenanya, terbukti Head to Head hingga hasil akhir yang terjadi Jokowi memenangkan pertarungan atas Prabowo.
Begitupun dengan Ganjar menjelang Pemilu 2024. Menurut Harits jumlah suara elektoral yang berpengaruh dari partai pengusungnya, PDI Perjuangan menjadi ego tinggi untuk tak pernah mau mundur dari pertarungan.
Baca Juga: Hoaks atau Fakta: Jokowi Temui Anies dan Tawarkan Gibran Jadi Bakal Cawapres
Namun, di sisi lain Prabowo juga tak akan bersedia disandingkan dengan Ganjar. Meski jumlah suaranya berada di bawah Ganjar. Maka potensi pergabungan antara keduanya dirasa tidak mungkin terjadi.
Atas hal ini, Anies yang juga diusung oleh koalisi dengan beberapa partai di dalamnya juga tak mau mundur. Namun, dengan adanya 3 Capres yang berpotensi tetap maju pada putaran pertama, membuat putaran kedua memiliki kemungkinan yang berbeda.
Harits menggambarkan pola putaran kedua dengan kemungkinan jumlah suara Prabowo kalah oleh Ganjar. Maka, Anies akan bergabung dengan Prabowo saat putaran kedua. Begitupun sebaliknya.
Jadi menurut Harits, kemungkinan bergabungnya antara 3 Capres yang ada hingga sekarang ini bisa saja terjadi. Sebab baik Ganjar, Prabowo, maupun Anies sama-sama memiliki tingkat suara yang cukup tinggi.