PR TASIKMALAYA – Ferdinand Hutahaean menanggapi pernyataan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah yang bandingkan aksi terorisme di Amerika dengan Indonesia.
Sedangkan menurut Ferdinand Hutahaean bahwa aksi terorisme di Amerika tidak bisa dibandingkan dengan aksi terorisme di Indonesia.
Karena Ferdinand Hutahaean menilai bahwa terorisme disetiap negara memiliki motivasi yang berbeda.
Pernyataan ini disampaikan Ferdinand Hutahaean dalam cuitan Twitter @FerdinandHaean3 pada Minggu, 4 April 2021.
“Terorisme lokal di Amerika tidak bisa dibandingkan dengan terorisme yang terjadi di Indonesia,” tulis Ferdinand Hutahaean seperti dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari akun Twitter @FerdinandHaean3
Politisi ini meyakinkan bahwa aksi terorisme setiap negara memiliki motivasi yang berbeda.
Baca Juga: Jadwal Acara dan Link Live Streaming RCTI 4 April 2021: Ada 'Ikatan Cinta' dan 'Shopee'
Selain itu juga latar belakang pelaku teror yang berbeda.
“Motif dan latar belakangnya serta tujuannya berbeda,” tambahnya.
Ferdinand Hutahaean mengkhawatirkan jika perbandingkan kasus aksi terorisme di Indonesia dengan Amerika terus diungkapkan.
Karena menurut Ferdinand Hutahaean bahwa memperbandingkan itu hanya akan menghilangkan masalah inti terorisme yang ada di Indonesia.
“Maka jika membandingkan Colorado dengan Makasar dan Mabes Polri, adalah bentuk mengaburkan inti terorisme dinegeri kita,” ujar Ferdinand Hutahaean.
Diberitakan sebelumnya Amirsyah menyatakan bahwa terorisme sebagai persoalan yang kompleks baik di Indonesia ataupun di dunia Internasional.
Baca Juga: Kebijakan Prokes Covid-19 Dianggap ‘Tebang Pilih’, Fiersa Besari: Banyak Paradoks di Negeri Ini
Amirsyah mencontohkan aksi terorisme berupa penembakan massal di Texas 2019 lalu.
Penembakan di El Pasi tersebut terjadi Minggu, 4 Agustus 2019 yang menewaskan 22 orang.
Dan menilai sebagai kasus serangan teroris domestik.
Amirsyah meminta publik untuk tidak menyederhanakan masalah penanggulangan terorisme di Indonesia hanya dengan melihat pakai cadar, celana cingkrang.