Seorang ilmuwan memperingatkan bahwa jeda dalam suatu percobaan adalah bagaimana uji klinis seharusnya bekerja.
“Itu memang terjadi. Tidak umum, tapi bisa terjadi,” ujar Paul Offit, pakar vaksin di Children’s Hospital of Philadelphia, yang menduduki jabatan sebagai komite penasihat vaksin FDA (Food and Drug Administration).
Baca Juga: Ingin Nikmati Santapan Murah Meriah, Berikut Tips Aman Kunjungi Warung Makan di Tengah Pandemi
Paul Offit melanjutkan bahwa vaksin itu bekerja untuk mengobati SARS-Cov-2, bukan untuk menyembuhkan penyakit lainnya.
Percobaan besar ini merupakan pendekatan mutakhir ketiga yang belum menghasilkan vaksin yang disetujui, tetapi telah diuji dalam vaksin eksperimental terhadap virus lain, termasuk influenza dan Ebola.
Vaksin ini berasal dari virus simpanse yang tidak berbahaya yang mengandung gen protein lonjakan SARS-CoV-2 untuk memicu respons imun serta untuk mengenali tanda-tanda invasi SARS-CoV-2 di masa depan.
Baca Juga: Ingin Nikmati Santapan Murah Meriah, Berikut Tips Aman Kunjungi Warung Makan di Tengah Pandemi
Uji coba fase 1 dan 2 dari vaksin, yang diuji pada 1.077 pasien, menunjukkan antibodi "penetral" yang menjanjikan terhadap sekira 90% peserta.
Sebanyak 60% pasien melaporkan efek samping ringan atau sedang, termasuk demam, sakit kepala, dan nyeri otot, yang semuanya terselesaikan selama percobaan.
Tidak ada efek samping serius yang dilaporkan selama uji coba awal.
US Biomedical Advanced Research and Development Authority telah menyediakan lebih dari $1 miliar untuk pengembangan vaksin oleh Oxford dan AstraZeneca ini.