“Lagi-lagi ada korban dari UU ITE, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengontrol transaksi di dunia siber terutama mereka yang menggunakan dunia maya untuk menipu misalnya, mengambil keuntungan, dan lain sebagainya,” pungkasnya
Refly menambahkan, kini UU ITE justru digunakan untuk mencokok orang-orang yang dianggap melakukan penghinaan, dan lain sebagainya.
“Malah digunakan untuk mencokok orang-orang yang dianggap melakukan penghinaan, penyebaran kebencian, provokasi yang berbau SARA dan lain sebagainya,” ujarnya.
Refly menyarankan, seharusnya untuk menanggapi kasus seperti ini hendaknya yang digunakan adalah pendekatan perdata lalu dilanjutkan dengan upaya rekonsiliasi.
Baca Juga: Hadiri Kelas Zoom, Seorang Bocah 11 Tahun Menembak Tewas Dirinya saat Pelajaran Tengah Berlangsung
“Apakah tidak pendekatannya perdata saja? Kalau ada orang yang mengadu ke Bareskrim, ya tinggal di rekonsiliasi, dipanggil orang yang diadukan, lalu direkonsiliasi misalnya nih ada pengaduan bagaimana, apakah kalian mau saling memaafkan atau tidak?” jelasnya.
Selanjutnya Refly menilai, negara masih sangat bermasalah dalam penegakan UU ITE.
“Tapi sekali lagi, negara ini menurut saya, masih sangat bermasalah dalam hal penegakan UU ITE, jadi maksud UU itu adalah untuk melindungi, katakanlah konsumen, melindungi warga negara, dan dari kejahatan-kejahatan melalui dunia siber, misalnya tipu-menipu dan lain sebagainya,” tuturnya.
“Tapi yang terjadi, justru ini menjadi alat ampuh bagi siapapun yang berada di lingkaran kekuasaan, atau dekat dengan kekuasaan, justru untuk membungkam lawan-lawan politiknya,” tandasnya.***