PR TASIKMALAYA – Hinca Pandjaitan selaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-RI yang berasal dari Fraksi Partai Demokrat, mengomentari isu kudeta yang mengancam kepemimpinan di Partai Demokrat.
Hinca Pandjaitan menyampaikan pendapatnya soal idu kudeta itu melalui laman resmi Partai Demokrat, seperti yang dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com pada Senin, 8 Februari 2021.
Hinca Pandjaitan mengawali komentarnya dengan mengulas sebuah artikel yang berjudul ‘Partai Tanpa Tulang Belakang’.
Baca Juga: Kuasa Hukum FPI Sebut HRS Menentang ISIS, Luqman Hakim: Bohong adalah Ibu dari Segala Dosa
Menurutnya, artikel tersebut memiliki penutup yang sangat dangkal.
Seperti ketika penulis memilih diksi ‘gembeng’ dan ‘kolokan’, yang mana menurut Hinca Pandjaitan istilah tersebut merupakan diksi yang digunakan untuk menggantikan istilah ‘baper’.
“Rasanya sudah lama Demokrat (khususnya) Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) disematkan kata-kata tersebut, khususnya oleh BuzzeRp,” tutur Hinca Pandjaitan.
Menurut Hinca Pandjaitan, upaya yang dilakukan Partai Demokrat seperti melakukan konfrensi pers, serta upaya-upaya lainnya merupakan suatu tindakan yang dinilainya elegan, guna meluruskan suatu perkara.
Namun, meski Partai Demokrat melakukan tindakan elegan tersebut, tetap saja tersemat label ‘baper’ oleh segelintir pihak.
“Ketua umum AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) yang mengundang pers untuk mendengarkan kronologi kudeta, adalah bentuk perlawanan,” tegas Hinca Pandjaitan.
Hinca Pandjaitan menjelaskan, upaya yang dilakukan AHY tersebut, ia nilai sebagai bentuk perlawanan dan keberanian AHY atas percobaan kudeta yang datang dari salah satu pembantu presiden di istana.
“Tidak ada yang ditutupi, bahkan sejumlah pengamat politik menganggap perlu melakukan klarifikasi kepada presiden, itu disebut langsung oleh Mas Burhanuddin Muhtadi,” tuturnya.
Lebih lanjut, Hinca Pandjaitan menyebutkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Partai Demokrat sama halnya seperti yang dilakukan oleh KH Zainal Mustafa, yang merupakan pahlawan nasional dari Tasikmalaya.
KH Zainal Mustafa, kerap kali menyerukan perlawanan kepada para penjajah melalui khutbah-khutbahnya.
“Terakhir, kudeta tersebut pada akhirnya terungkap. Kudeta itu mati langkah. Sang inisiator kudeta, tidak mampu lagi bergerak ke depan karena kader-kader Demokrat impulsif menyatakan kesetiaan,” ujar Hinca Panjaitan.
“Mereka juga kini menunduk malu untuk berjalan ke belakang, ke kiri maupun ke kanan, apalagi ‘sang ayah’ sudah menegur anaknya. Perlawanan ini bukan saja sudah dilakukan, tapi ternyata Demokrat memenangkannya. Sekian,” sambung Hinca Panjaitan.***