PR TASIKMALAYA – Daun kratom saat ini tengah hangat diperbincangkan.
Daun kratom sendiri lebih dikenal di masyarakat pedalaman Kutai Kartanegara dengan sebutan Daun Katemba.
Melansir dari laman Badan Narkotika Provinsi Kalimantan Timur, daun kratom ternyata memiliki efek 13 kali lebih kuat dibandingkan morfin.
Selain itu apabila daun kratom dikonsumsi terus-menerus, dapat menimbulkan efek kecanduan, depresi pernapasan, hingga kematian.
Lantas apa yang membuat daun kratom sangat berbahaya?
Berdasarkan keterangan yang diberikan Humas BNNP Kaltim seperti yang dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com, daun kratom memiliki senyawa-senyawa yang sangat membahayakan bagi kesehatan.
“Jika digunakan dengan dosis rendah akan menyebabkan efek stimulan, sementara dosis tinggi dapat menyebabkan efek sedatif,” jelas Humas BNNP Kaltim.
Sebagaimana yang diketahui, efek sedatif sendiri ditunjukkan dengan gejala ngantuk, hilang kesadaran, koma, hingga kematian.
Sebenarnya daun kratom telah lama digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Masyarakat setempat menyebut daun kratom sebagai ‘obat ajaib’ untuk segala penyakit.
Mereka menggunakan daun kratom untuk menghilangkan rasa sakit hingga mengatasi kecemasan.
Selain di Kabupaten Kutai Kartanegara, ternyata daun kratom sangat populer di Malaysia hingga Papua Nugini.
Baca Juga: 5 Agenda Besar Guna Capai Indonesia Maju, Salah Satunya Naikkan Tingkat UMKM
Daun kratom dipakai sejak berabad-abad lalu untuk digunakan sebagai stimulan reseptor otak seperti halnya morfin.
Dikenal dengan khasiatnya yang luar biasa, daun kratom sangat digandrungi dan mulai dikonsumsi pribadi hingga dijadikan komoditi ekspor ke seluruh dunia.
Bahkan petani setempat mulai beramai-ramai menggarap pohon kratom.
Terlepas dari semua itu, BNN telah menyatakan bahwa daun kratom telah dilarang penggunaannya.
Baik itu penggunaan di dalam makanan ataupun obat tradisional.
Larangan penggunaan daun kratom tersebut resmi diberlakukan mulai tahun ini (2022).
Selain itu, tanaman kratom juga telah digolongkan sebagai narkotika I oleh Komite Nasional Perubahan Narkotika dan Psikotropika tahun 2017 lalu.***