8 Fakta Sejarah Rumoh Geudong, Saksi Bisu Pelanggaran HAM Berat di Aceh

23 Juni 2023, 15:50 WIB
Fakta Rumoh Geudong. /ANTARA/Mira Ulfa

PR TASIKMALAYA - Pada 27 Juni 2023 mendatang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengunjungi salah satu situs bersejarah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Aceh.

Kabarnya, Rumoh Geudong tersebut akan masuk pada penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM. Hal itu diungkapkan Pj Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto sebagaimana dilansir dari laman ANTARA.

Ia menyatakan bahwa Jokowi melakukan kunjungan ini sebagai bagian dari Kick-Off pertanda dimulainya penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Sebagaimana dihimpun PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari laman Perpustakaan Komnas Perempuan, berikut fakta-fakta sejarah Rumoh Geudong, Pidie, Aceh.

Baca Juga: Inilah Prediksi West Ham vs Manchester United di Liga Inggris 8 Mei 2023, Dilengkapi Link Nonton

Dibangun oleh Putra Hulubalang era Kolonial

Rumoh Geudong dibangun oleh seorang putra Hulubalang (Raja Perang) di era kolonial Belanda. Putra Hulubalang tersebut adalah Ampon Raja Lamkuta.

Menurut penuturan ahli waris, Rumoh Geudong dibangun pada tahun 1818. Lokasi dari Rumoh Geudong itu sendiri terletak tepat di Desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Dalam hal ini, lokasi Rumoh Geudong berjarak dengan Kota Banda Aceh sekira 125 kilometer.

Warisan Turun Temurun Para Bangsawan di Aceh

Baca Juga: Museum HAM Munir, Tempat Wisata Penuh Perjuangan yang Bisa Dikunjungi Saat Hari Buruh 2023

Seperti diketahui, gelar Teuku merupakan gelar yang disematkan pada keluarga bangsawan di Aceh. Bahkan hingga saat ini, gelar tersebut masih terus dibudayakan oleh masyarakat Aceh. Biasanya gelar tersebut menandakan kekuasaannya dalam wilayah Nanggroe atau Kenegerian.

Dalam hal ini, sebagaimana kembali dikutip dari buku Rumoh Geudong: Tanda Luka Orang Aceh, yang ditulis Dyah Rahmany dan Nezar Patria. Dikatakan bahwa Rumoh Geudong pada awalnya selalu ditempati oleh para keturunan bangsawan di Aceh. Hal ini terbukti dari nama-nama pemiliknya setelah kematian pendirinya, Ampon Raja Lamkuta.

Didirikan di masa kolonila Belanda, Rumoh Geudong yang awalnya didirikan Ampon Raja Lamkuta, kemudian dilanjutkan oleh adik kandungnya, Teuku Cut Ahmad saat dirinya masih berusia 15 tahun. Hal ini berpindah kepemilikan karena Raja Lamkuta dikabarkan mati secara syahid tertembak pada masa itu.

Setelah Teuku Cut Ahmad kemudian juga mati tertembak pada masa tersebut, Rumoh Geudong kemudian ditempati secara turun-temurun melalui para keturunannya sebagai bangsawan. Dalam hal ini, mereka adalah Teuku Keujren Rahman, Teuku Keujreun Husein, hingga Teuku Keujreun Gade.

Baca Juga: Prediksi West Ham vs Arsenal pada 16 April 2023 di Liga Inggris

Selanjutnya, di era kolonial Jepang baru kemudian kepemilikan dilanjutkan oleh anak Teuku Keujreun Husein, yakni Teuku Raja Umar (Keujreun Umar).

Setelah Teuku Raja Umar meninggal dunia, kepemilikan diteruskan kembali oleh anak Teuku Muhammad. Baru setelah itu, dinyatakan bahwa pengurusan Rumoh Geudong mulai dipercayakan pada Cut Maidawati yang meruapakan anak dari Teuku A. Rahman. Dimana Teuku A. Rahman mewarisi Rumoh Geudong setelah melalui musyawarah keluarga.

Perlu diketahui bahwa Teuku A. Rahman adalah anak dari Teuku Ahmad yang mana merupakan anak dari Teuku Geujreun Gade.

Awal Mula Diduduki DOM

Baca Juga: Jadwal Liga Inggris Pekan ke-31, 15 hingga 18 April 2023: Ada West Ham vs Arsenal

Pada tahun 1990, sebagaimana dikutip dari buku yang sama di atas, dikatakan bahwa Rumoh Geudong yang awalnya ditempati oleh para bangsawan Aceh akhirnya berpangku tangan pada kelompok DOM.

Hal itu bertujuan agar Rumoh Geudong dijadikan sebagai pos militer. Namun sebagaimana dikutip dari penelitian ilmiah Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh pada tahun 2018, secara mengejutkan, justru di masa itu pula ternyata Rumoh Geudong malah menjadi saksi bisu tempat pengeksekusian dan penyiksaan terhadap masyarakat Aceh.

Sebagaimana dikatakan masyarakat setempat, sejak Maret 1998, dikabarkan bahwa Rumoh Geudong telah mulai dijadikan tempat tahanan. Dimana ada sekira 50 orang masyarakat Aceh, baik laki-laki maupun perempuan yang dituduh sebagai bagian dari Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka (GPK-AM).

Dari Tempat untuk Perjuangan hinga jadi Tempat Penyiksaan

Baca Juga: Prediksi Man United vs West Ham di Piala FA 2 Maret 2023: Erik Ten Hag Yakin 100 Persen Hadapi The Hammers

Kembali lagi pada masa dahulu, Rumoh Geudong yang awalnya dimiliki Raja Lamkuta dan keturunannya. Pada masa kolonial Belanda dan Jepang digunakan oleh mereka sebagai pusat atau markas untuk perjuangan melawan pasukan kolonial.

Hal itu terbukti, dari yang tertulis dalam buku Rumoh Geudong: Tanda Luka Orang Aceh, bahwa Raja Lamkuta meninggal dalam keadaan tertembak oleh Tentara Marsose di Pulau Syahi. Begitupula dengan Teuku Cut Ahmad, dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda, dirinya juga mengalami hal yang sama. Tertembak oleh tentara Belanda.

Sejak 1990 saat pertama diduduki oleh DOM untuk dijadikan salah satu pos militer (Pos Sattis), Rumoh Geudong berubah fungsi menjadi tempat penyiksaan dan pelanggaran HAM berat.

Data Korban Simpang Siur

Baca Juga: Tanggapi Kasus Ferdy Sambo, Komnas HAM Harap Hukuman Mati di Indonesia Dihapus

Sebagaimana mengacu pada penelitian ilmiah di atas, bahkan ada salah satu korban menuturkan bahwa ketika dirinya ikut ditahan selama 3 bulan di Pos Sattis atau Rumoh Geudong.

Saat itu pula dirinya telah menyaksikan ada 78 orang dibawa ke pos untuk disiksa dan dianiaya. Jadi jika dihitung jauh sejak 1990, sudah lebih dari ratusan korban bila ada bukti kuat yang menyertainya.

Awal Mula Konflik

Menurut sejarah yang tertulis dalam latar belakang penelitian di atas, dikatakan pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara terjadi sebuah pembunuhan massal di Aceh Utara.

Baca Juga: Jadwal Liga Inggris Malam Ini, Ada Arsenal vs West Ham dan Aston Villa vs Liverpool

Peristiwa tersebut kabarnya diawali dengan isu hilangnya anggota TNI Datasemen Rudal 001/Liliwangsa, yakni Edityawarman pada 30 April 1999. Peristiwa tersebut diduga terjadi ketika dirinya melakukan penyusupan pada acara ceramah peringatan 1 Muharram yang tengah digelar warga Cot Murong, Aceh Utara.

Akibat hilangnya anggota TNI tersebut, akhirnya memantik anggota Pasukan Militer Datasemen Rudal untuk melakukan penyisiran secara massif ke rumah-rumah warga di dua hari setelah berita kehilangan.

Di tengah peristiwa penyisiran tersebut, saat warga juga tengah melakukan Kenduri 1 Muharram mulai terdapat kasus kekerasan pada sekira 20 orang. Mereka dikabarkan dipukuli, ditendang, serta diancam. Bahkan dikabarkan ada 3 orang warga yang akhirnya ditangkap dan dibawa pasukan militer, karena diduga terlibat dalam hilangnya Edityawarman.

Hari selanjutnya, warga dusun Teupin diambil pasukan TNI. Hingga akhirnya memantik warga melakukan protes pada saat itu juga di Kantor Koramil setempat.

Baca Juga: Mahfud MD Sebut Komnas HAM akan Umumkan Hasil Penyelidikan Tragedi Kanjuruhan Hari Ini

Selanjutnya pasca dicabutnya DOM pada 7 Agustus 1998, diketemukan pembantaian brutal yang terjadi di Beutong Ateuh. Dimana sekira 56 santri termasuk Teuku Bantaqiah dibunuh dengan cara ditembak sevara brutal oleh tentara Indonesia.

Dari sanalah akhirnya terbentuk adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari pihak masyarakat. Diprakarsai olej Hasan Tiro dan rekan-rekannya, dan bertempat tepat di Kabupaten Pidie. Sejalan dengan pemberantasan yang dilakukan pemerintah serta upaya perlawanan GAM, akhirnya tentara Indonesia merasa membutuhkan pos-pos militer bagi mereka di Aceh ini.

Dalam hal ini, salah satu pos yang terkenal paling mengerikan dan kejam adalah Pos Pattis Rumoh Geudong.

Pengungkapannya Terjadi di Masa Jabatan Wiranto

Baca Juga: Prediksi Man United vs West Ham di Premier League 30 Oktober 2022, Setan Merah Masih Incar Poin Penuh!

Setelah adanya peristiwa penganiayaan yang belum banyak terendus banyak orang di luar Aceh. Tepat saat adanya isu politik yang menyeruak. Karena ada perencanaan dicabutnya DOM pada tahun 1999.

Akhirnya di masa tersebut, tepat saat masa jabatan Wiranto, DOM resmi dicabut pengoperasiannya. Sebagaimana dikutip dari buku di atas, menyatakan bahwa sejak saat itulah pengungkapan pelanggaran HAM yang begitu berat ini mulai terungkap.

Rumoh Geudong Bukan Satu-satunya

Berangkat dari pembahasan mengenai pos-pos militer yang dibutuhkan di dataran Aceh. Menjadi bukti kuat juga adanya dugaan lain bahwa pelanggaran HAM yang berat ini tak hanya terjadi di Rumoh Geudong saja.

Baca Juga: Jadwal Liga Inggris Akhir Pekan Ini, Ada Manchester United vs West Ham United

Sebagaimana disimpulkan sumber dari buku di atas, bahwa Rumoh Geudong hanyalah salah satu dari puluhan kamp atau pos militer tempat penyiksaan masyarakat dan pelanggaran HAM berat.***

Editor: Thytha Surya Swastika

Sumber: ANTARA Perpustakaan Komnas Perempuan

Tags

Terkini

Terpopuler